![]() |
oleh ReO Fiksiwan
„Sepanjang sejarahnya, Italia merupakan pusat seni di Eropa, arena bermain seni bagi para elit dan kekuatan asing yang membeli, menjual, dan terkadang menjarah karya seni dan barang antik yang tak terhitung jumlahnya.“ Fiona Greenland(45), Ruling Culture: Art Police, Tomb Robbers, and the Rise of Cultural Power in Italy (2021).
Taman Budaya di Jl. Maengket Wanea Rike Manado bukan sekadar bangunan tua. Ia adalah saksi hidup geliat seni dan sastra Sulawesi Utara sejak dibangun oleh Pemerintah Pusat pada 1986 sebagai pusat aktivitas seni budaya daerah.
Namun kini, tempat yang dulu menjadi ruang tumbuh bagi ratusan seniman dan budayawan itu terancam hilang fungsi dan makna.
Pada Kamis, 16 Oktober 2025, lebih dari 100 seniman, budayawan, dan pemerhati budaya yang tergabung dalam Gerakan Masyarakat Seni(GEMAS) berkumpul di lokasi tersebut. Mereka menyuarakan satu seruan tegas: hentikan perampasan aset budaya.
Protes ini bukan sekadar reaksi emosional, melainkan jeritan panjang atas kematian perlahan aktivitas kesenian dan sastra lokal yang telah berlangsung selama dua dekade terakhir.
Sejak 2015 hingga 2024, dinas-dinas terkait di lingkungan Pemerintah Provinsi Sulawesi Utara—terutama Dinas Kebudayaan, Pendidikan, dan Pariwisata—dinilai abai dan tidak peduli terhadap hidup-matinya seni budaya lokal.
Tidak ada program berkelanjutan, tidak ada dukungan fasilitas, dan tidak ada keberpihakan terhadap pelaku seni.
Yang ada justru pengabaian, pembiaran, dan kini, ancaman alih fungsi Taman Budaya yang semakin nyata.
Dikutip dari Tom Jones(50), peneliti kebijakan budaya asal Australia, dalam Kebudayaan dan Kekuasaan di Indonesia: Kebijakan Budaya Selama Abad ke-20 hingga Era Reformasi(2015), berikut ulasannya:
„Taman Budaya didirikan sebagai bagian dari strategi negara untuk membentuk dan menyebarkan versi budaya nasional yang seragam, yang dapat diakses oleh masyarakat di daerah.”
Prakarsa Pemprov melalui Badan Keuangan dan Aset Daerah(BKAD)yang hendak mengubah fungsi Taman Budaya menjadi ruang komersial, SPBU, atau non-kesenian adalah bentuk nyata perampasan aset budaya.
Ini bukan sekadar soal bangunan, tapi soal identitas, sejarah, dan hak kolektif masyarakat atas ruang ekspresi.
Taman Budaya bukan milik pemerintah semata, melainkan milik publik, milik para seniman, milik generasi yang tumbuh dengan puisi, tari, teater, dan musik yang lahir dari ruang itu.
GEMAS dan para seniman menolak keras segala bentuk penghapusan jejak budaya. Mereka menuntut agar Pemprov menghentikan rencana alih fungsi.
Juga, mengembalikan Taman Budaya dan aset artefak budaya lainnya seperti Gedung Pingkan Matindas, Museum, Gedung Juang, Minahasa Raad(dulu milik AL, kini alih museum terbengkalai) sebagai ruang publik seni, dan mulai membangun kebijakan yang berpihak pada pelestarian budaya lokal.
Mereka juga menyerukan agar masyarakat luas ikut menjaga dan mengawasi aset budaya dari tangan-tangan yang hendak mengubahnya menjadi komoditas.
Sebagai pengingat dan penegasan hukum, berikut adalah regulasi yang melarang perusakan dan penyalahgunaan artefak dan aset budaya:
🇮🇩Undang-Undang No. 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan
Pasal 53: Mengatur tentang sarana dan prasarana Pemajuan Kebudayaan.
Pasal 54: Menyatakan bahwa:
"Setiap Orang yang secara melawan hukum menghancurkan, merusak, menghilangkan, atau mengakibatkan tidak dapat dipakainya sarana dan prasarana Pemajuan Kebudayaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan pidana denda paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah)."
🏛️Undang-Undang No. 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya
Pasal 105: Melarang setiap orang merusak, menghancurkan, atau menghilangkan Cagar Budaya.
Pasal 106: Menyatakan bahwa pelanggaran terhadap Pasal 105 dapat dikenakan pidana penjara paling lama 15 tahun dan/atau denda paling banyak Rp5.000.000.000,00.
Pasal 66–70: Mengatur perlindungan, pelestarian, dan pemanfaatan Cagar Budaya secara bertanggung jawab.
🌍Konvensi PBB tentang Warisan Dunia (World Heritage Convention, 1972)
Pasal 4 dan 5: Negara peserta konvensi berkewajiban untuk melindungi, melestarikan, dan menyampaikan warisan budaya dan alam kepada generasi mendatang.
Pasal 6(3): Melarang tindakan yang secara langsung atau tidak langsung merusak warisan budaya dan alam yang telah diakui sebagai Warisan Dunia.
#coverlagu: Lagu "Kembalikan Baliku" ciptaan Guruh Soekarnoputra(72) dan dinyanyikan oleh Yopie Latul(1955-2020) dirilis pada tahun 1987.
Lagu ini menjadi salah satu dari sepuluh lagu terpilih dalam Festival Lagu Populer Indonesia (FLPI) 1987 dan mewakili Indonesia dalam Festival Lagu Populer Sedunia pada tahun yang sama.
Di ajang internasional tersebut, lagu ini meraih penghargaan khusus Kawakami Awards.

