Type Here to Get Search Results !

Puncak Dimensi Spiritual Ada Dalam Misteri Kematian

Jacob Ereste 

Sejujurnya saya belum mendapatkan banyak karya puisi yang ditulis Dokter Farhaan Abdulah Sp.THT-KL kecuali beberapa saja diantaranya yang baru dia release lewat WhatsApp yang saya nikmati sebagai pengobat lelah, setelah keliling jagat pinggiran Ibu Kota Jakarta yang masih menyisakan macet.

"Nyanyian Luka Untuk Azwan Manday" cukup mengesankan, terutama dalam bahasa ucapnya yang melandasi, tak bombastis, meski di sana sini ada kalimat ucapnya yang dapat dipahami secara persis maksud dan artinya, karena sungguh asing dari pendengaran maupun perbendaharaan kata yang saya miliki.

Meski begitu, toh tetap saja nikmat untuk meredakan dahaga terhadap karya sastra yang terlanjur menjadi menu lahapan saya sehari-hari.

Misalnya di sehelai waktu yang melintir dari simpang Tapakis ke Jati Enam, kami tertawa dalam hujan lampu kos malam. Dari kalimat ini saja aku jadi harus sibuk bertanya, Simpang Tapakis itu dimana. Begitu juga Jati Enam, kendati aku sudah cukup banyak tersuruk ke berbagai pelosok daerah yang paling ujung, tetap saja belum pernah mendengar nama daerah yang disebutkan seperti di atas.

Aku dan kembaranku -- dua batang pena yang menulis mass depan di antara cangkir-cangkir kopi mahasiswa, dan Azwan -- ia adalah api kecil yang setia membakar malam menjadi hangat.

Dalam bait ini aku bisa membayangkan dua manusia yang begitu akrab dan karib telah mengukir nostalgia yang sangat mengesankan. Seperti pada akhir puisi Farhaan Abdulah ini yang mengungkapkan kepergian karibnya itu tanpa pernah terduga sebelumnya, kendati sakit parah telah lama menghinggapinya. 

Paling tidak, Farhaan Abdulah tidak pernah membayangkan bila perpisahannya dengan sang karibnya itu akan begitu cepat. Padahal, kematian adalah sebuah kepastian yang tidak mungkin ditawar-tawar sebagai otoritas Tuhan atas semua makhluk ciptaan-Nya.

Pada bagian inilah saya merasakan ada sentuhan spiritual yang cukup esensial mengenai eksistensi manusia yang lahir, kemudian menjalani hidup dengan suratan takdir maupun nasibnya untuk kemudian mati, sebagaimana siklus alam raya dan seisinya yang tetap tunduk pada sunnatullah yang telah tersurat sejak awal bermula hingga akhirnya dalam skenario yang tidak pernah bisa dipahami sepenuhnya oleh manusia yang paling genius sekalipun.

Simbolika yang landai pun seperti diungkap oleh Farhaan dalam narasinya tentang kami bukan hanya muda, kami adalah tanah dan hujan, berakar bersama dalam pelajaran dan perjuangan, menghapal nama-nama anatomi dan menebak arah nasib dan bau logam stetoskop di pagi hari.

Suasana dari lingkungan mahasiswa kedokteran pun terbayang, seperti mengingat semasa tahun 1980-an di sekitar kampus UGM yang bersebelahan dengan Rumah Sakit Umum Sarjito, penuh aroma obat-obatan sambil mengintip beragam pasien yang selalu mengingatkan pada kematian yang telah mendekat.

Pengalaman spiritual semacam ini memang setelah puluhan tahun kemudian baru dapat dicerna betapa berkelimpahan kasih dan sayang Tuhan bagi kita yang bisa terus sehat dan segar bugar dalam kebahagiaan sampai di penghujung usia.

Perpisahan Farhaan bersama Azwan justru berakhir dalam kebahagiaan seusai memakai toga. Azwan terus tersuruk ke Lima Puluh Kota, di Sumatra Barat, sementara Farhaan sendiri masuk barak tentara di Lembah Tidak, Kota Magelang, Jawa Tengah. Maka jadilah dia dokter tentara yang memiliki fungsi dan tugas ganda -- setidaknya dalam disiplin militer dan disiplin kedokteran. Tapi justru disini uniknya, dipengjujung kariernya sebagai militer dia justru berlanjut berkarier jadi penyair. Perpisahan mereka pun ditandai oleh detak nadi rakyat, sementara yang lain juga patuh dalam disiplin baris-berbaris hingga dentum suara senjata dan abal-aba untuk dipatuhi agar tidak sampai cidera.

Kisah pernikahan Azwan pun bagi Farhaan sungguh menjadi kembang memori saat merangkai restu adat Pariaman yang ketat. Ia melukiskan wajah sang pengantin penuh cahaya, seperti matahari sore yang tak hendak cepat tenggelam. Sampai pada bagian inilah aku percaya bila Farhaan sungguh memiliki potensi bersastra karena memiliki kosa kata yang kaya, sehingga tinggal mengasah kepasihan memilih kata ucapan yang lebih familiar, bila sekiranya tak hendak membuat catatan kaki sebagaimana tradisi yang bertajuk puisi esai yang dianggap baku dalam khazanah sastra yang saya sebut sebagai perkawinan silang antara jenis kelamin puisi dengan jenis kelamin esai itu.

Dan puisi esai Farhaan pun bercerita banyak sampai ketika bertugas di Papua harus melewati kabut pegunungan Bintang dan nyanyian sunyi di Pas Perbatasan Negeri ini yang jauh di ujung Barat. Lalu bisa dibayangkan, Farhaan dari Sumatra Barat harus terbang ke Irian Barat (dulu namanya begitu) dan kemudian harus pulang lagi ke Sumatra Barat. Meski sebelumnya sempat bertugas di Rumah Sakit Binjai, Sumatra Utara.

Rupanya begitulah nasib, kembali mempertemukan mereka -- Azwan dan Farhaan -- di RS Tentara Binjai, selama tujuh tahun yang dia lukiskan dalam tujuh musim berlayar dalam luka dan kesembuhan para pasien yang mereka ruat seperti pusaka yang didambakan banyak orang. Jadi takdir pun, seperti persaudaraan, bukan sebagai peristiwa yang kebetulan, kata Farhaan.

Tentang perpisahan berikutnya yang menghempaskan Azwan ke Batam dan Farhaan sendiri di Padang (ada istilah Karumkit (sehingga hanya bisa ditebak sebagai singkatan Kepala Rumah Sakit) jadi terasa mengganggu menikmati puisi esai yang seharus sudah dapat disebut sempurna ini.

Hingga masa pensiun tiba -- terus bisa dibayangkan adanya kemungkinan terkena penyakit power sindrom -- seperti neurosis bawaan saat pelucutan semua otoritas yang melekat pada jabatan, hingga dominan sulit berbaur dengan warga masyarakat kebanyakan, apalagi sampai terputus jaringan dengan sesama pekerja seprofesi yang tuna organisasi.

Ganguan psikologis berjenis neurosis memang bisa melantak mental, sehingga kegalauan dan kecemasan dan ketakutan -- dapat menjadi konflik emosional kronis -- seperti kapal yang bingung mencari tempat untuk bersandar ketika diterpa badai dan topan. Jadi konflik psikologis inilah yang menjadi puncak dari perpisahan yang tak lagi mungkin bersua. Hingga langit jatuh ke dadaku, kata Farhaan dalam baik terakhir puisinya yang aku suka ini. Azwan pergi, begitulah aku menulis puisi ini bukan untuk menjahit luka, karena ada luka perlu dibiarkan untuk menandai keabadian.

Kendati tidak sempat merangkul saat kematian menjemput sang karib, aku telah memaafkan mu terlebih dahulu, seperti langit memaafkan hujan yang datang tanpa aba-aba. Torehan karya Farhaan ini sungguh meyakinkan kelak dia akan menjadi salah satu cahaya jagat sastra Indonesia yang kini sedang meredup. Karena bahasanya yang sederhana, namun tidak mengabaikan selera perangkaiannya yang, seperti dia saat menggambarkan sosok Azwan kini bagian dari angin, bagian dari do'a-do'a dan bagian dari puisi ini -- yang tak akan pernah selesai ditulis -- selama jantung kenangan masih berdetak di dadaku.

Sungguh, bagus dan puitis hingga terasa sangat mengesankan bagi kita yang pernah ditinggal mati oleh seorang yang selalu dekat dalam kenangan kita. Sebab puncak-puncak dalam dimensi spiritual juga menggumpal dalam misteri kematian.

Banten, 22 Juli 2025

Posting Komentar

0 Komentar
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.