![]() |
Tulisan ini adalah artikel penulis ketiga berkaitan dengan wacana dan sudah ada yang dilakukan tentang sertifikasi tanah ulayat.
Ulama dan ahli hukum Islam Prof. Dr. Amir Syarifuddin dalam bukunya "Hukum Kewarisan Islam", menulis bahwa tanah ulayat (terutama dalam konteks Minangkabau dan masyarakat adat lainnya di Indonesia) tidak termasuk dalam kategori harta warisan yang dapat dibagi menurut hukum Islam (faraidh).
Pandangan Amir Syarifuddin tentang Tanah Ulayat:
1.Tanah ulayat adalah milik kolektif:
Tanah ulayat tidak dimiliki secara pribadi oleh seseorang, tetapi dimiliki oleh suatu komunitas adat, seperti nagari, suku dan kaum.
Oleh karena itu, tidak dapat dijadikan objek waris karena tidak ada satu individu pun yang memiliki hak milik penuh atasnya.
2.Berlaku hukum adat, bukan hukum faraidh: Karena tanah ulayat termasuk harta komunal, pengaturannya mengikuti hukum adat, bukan hukum waris Islam yang individualistik.
Amir Syarifuddin mengakui eksistensi hukum adat sebagai bagian dari realitas sosial yang harus dihormati selama tidak bertentangan dengan prinsip dasar syariat.
3. Tanah ganggam bauntuak pun tidak dibagi secara faraidh. Meski individu (anggota kaum) memanfaatkan tanah ulayat dalam bentuk ganggam bauntuak, hak tersebut bukan hak milik penuh, sehingga tidak diwariskan secara faraidh.
Ketika pemegang hak wafat, tanah kembali ke kaum, bukan dibagi ke ahli waris secara syar’i.
Amir Syarifuddin dengan jelas menyatakan tanah ulayat dan hak-haknya tidak termasuk dalam kategori tirkah (harta peninggalan yang dapat diwariskan) menurut hukum waris Islam, karena bukan harta milik pribadi, melainkan harta komunal yang diatur oleh hukum adat.
GANGGAM BA UNTUK BUKAN HAK MILIK
Istilah "ganggam bauntuak" (kadang juga ditulis ganggam ba-untuak) adalah salah satu konsep penting dalam pengelolaan tanah ulayat di Minangkabau.
Ganggam Bauntuak dalam Tanah Ulayat Minangkabau
Definisi "Ganggam bauntuak" adalah hak pemanfaatan atau pengelolaan tanah ulayat oleh anggota kaum (suku) secara individu untuk kebutuhan tertentu, tanpa menghilangkan kepemilikan kolektif tanah tersebut sebagai milik kaum.
Karakteristik Ganggam Bauntuak:
1. Bukan hak milik pribadi, tapi hak guna atas nama kaum.
2. Diberikan oleh mamak kepala waris kepada kemenakan (anggota kaum) untuk bercocok tanam, mendirikan rumah, atau kegiatan ekonomi.
3. Tidak bisa dijual kepada orang luar kaum — hanya bisa dialihkan antar anggota kaum.
4.Jika tidak digunakan atau ditinggalkan lama, hak ganggam bisa dicabut dan dikembalikan ke kaum.
Ganggam ba untuk bahagian dari jenis tanah ulayat dalam Adat Minang disamping itu ada
Tanah Ulayat Suku – milik bersama anggota suku.
Tanah Ulayat Kaum – milik bersama dalam satu kaum atau keluarga besar. Tanah Ganggam Bauntuak – hak pakai individu dari tanah ulayat kaum.
Tanah Pusako Tinggi – diwariskan secara adat, tidak boleh diperjualbelikan.
Tanah Pusako Randah – bisa diwariskan secara individual, lebih fleksibel.
Peribahasa terkait: “Bulek aia dek pambuluah, bulek kato dek mufakaik, nan gadang indak dapek dilangkahi, nan ketek indak dapek ditinggakan.”
(Musyarawah dan mufakat jadi dasar dalam pengambilan keputusan adat termasuk urusan tanah.)
Kesimpulan
Prof. Dr. Amir Syarifuddin, ulama dan ahli hukum Islam, dalam bukunya Hukum Kewarisan Islam menegaskan bahwa tanah ulayat tidak termasuk kategori harta warisan (tirkah) dalam hukum Islam karena tidak dimiliki secara individu, melainkan sebagai milik kolektif oleh komunitas adat seperti kaum, suku, atau nagari. Dengan demikian, pengelolaan dan pembagiannya tidak tunduk pada sistem faraidh, melainkan mengikuti norma dan hukum adat.
Lebih lanjut, hak ganggam bauntuak—yaitu hak guna atas sebidang tanah ulayat oleh individu dalam kaum—bukanlah hak milik, melainkan hak pakai terbatas yang diberikan oleh mamak kepala waris kepada anggota kaum. Hak ini tidak bisa diwariskan secara syar’i karena tidak memenuhi unsur kepemilikan pribadi. Ketika pemegang hak wafat atau meninggalkan tanah tersebut, haknya akan kembali kepada kaum, bukan kepada ahli warisnya.
Dalam konteks adat Minangkabau, ganggam bauntuak merupakan satu dari beberapa bentuk tanah ulayat, di samping:
Tanah Ulayat Suku, milik bersama anggota suku.
Tanah Ulayat Kaum, milik bersama satu kaum atau keluarga besar.
Tanah Pusako Tinggi, diwariskan menurut adat, tidak boleh diperjualbelikan.
Tanah Pusako Randah, dapat diwariskan dan lebih fleksibel dalam penggunaan.
Peribahasa Minang "bulek aia dek pambuluah, bulek kato dek mufakaik" menegaskan bahwa segala urusan termasuk pengelolaan tanah ulayat harus diselesaikan melalui musyawarah mufakat, dengan menjaga kearifan lokal dan keadilan komunal.
Dengan demikian, tanah ulayat dan hak ganggam bauntuak merupakan entitas komunal yang diatur melalui prinsip adat, dan tidak dapat diobjekkan dalam hukum waris Islam secara individual. Pandangan ini meneguhkan perlunya harmonisasi antara hukum Islam dan adat Minang dalam menjaga nilai-nilai keadilan sosial dan identitas kultural masyarakat.soettatomataram04052025
*Pengasuh Mata Kuliah Islam dan Budaya Minangkabau pada UIN Imam Bonjol