Hot Widget

Type Here to Get Search Results !

Sengkarut Judi dan Luka Negeri Oleh: Abdul El Hakim

Di tengah berbagai masalah yang belakangan menjerat republik, fenomena judi online terus langgeng, bahkan terkesan sengaja dirawat oleh pemerintah dan begundal tidak bertanggung jawab. Judi online menjelma sebagai bentuk kejahatan baru, tumbuh dari keterlambatan negara dalam menjamin kesejahteraan. Di balik layar ponsel, kita menyaksikan rakyat menggadaikan harapan dan penghasilan demi keberuntungan palsu, sementara negara tampak kehilangan arah, tidak punya komitmen keberpihakan apapun terhadap rakyat yang menjadi korban.

Data terbaru dari Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) menyebutkan bahwa hingga 23 April 2025, pemerintah telah men-takedown lebih dari 1,3 konten judi online. Namun, seperti rumput liar yang tumbuh makin banyak setelah dipangkas, platform judi ini terus bermunculan, kini menyusup bahkan melalui aplikasi pinjaman online, marketplace, dan situs e-commerce palsu. Saking terstrukturnya, beberapa platform bahkan menggunakan sistem referral, cashback, dan dompet digital agar tampak seperti sistem legal.

Ironisnya, menurut pernyataan Menteri Koordinator Bidang Politik dan Keamanan (Menko Polkam) di tengah gempuran masif ini, nilai transaksi judi online dalam negeri pada 2024 ditaksir mencapai Rp. 900 triliun. Angka ini bukan menunjukkan skala ekonominya yang masif, serta memperlihatkan bahwa negara telah lama membiarkan praktik haram menggerogoti ekonomi dan kehidupan masyarakat Indonesia.

Candu ini menyasar semua kelas. Menko Polkam juga mencatat, pada 2024, terdapat lebih dari 8,8 juta pengguna aktif situs judi online di Indonesia, dan yang paling banyak berasal dari kelompok usia produktif 17–35 tahun dan masyarakat bawah. Di sisi lain, Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) menerbitkan laporan yang amat mengerikan, yakni peningkatan kasus bunuh diri yang berkaitan dengan jeratan utang akibat judi online. Di tengah kenaikan biaya hidup, rakyat dibiarkan bermain mengadu nasib di ruang digital, sementara negara hanya datang peduli dalam lisan, tetapi persetan dalam sikap dan tindakan. Publik patut curiga, bahwa oknum pemerintah turut menikmati aliran dana haram dari darah serta regangan nyawa anak bangsa itu.

Kita sedang menghadapi rezim yang membiarkan rakyatnya terjerumus dalam perjudian digital, namun menutup mata tanpa empati dan peduli. Negara tidak sekadar lalai, melainkan secara sistematis membiarkan praktek judi online tumbuh, bahkan dilumasi oleh aparatnya sendiri. Berbagai temuan yang menyingkap keterlibatan aparat negara dalam memfasilitasi langgengnya fenomena judi online menunjukan kebusukan dalam tubuh pemerintahan.

Laporan investigasi Tempo menguak langgengnya operasi kejahatan judi online ditengarai keterlibatan elit petinggi republik ini. Elit tersebut dikenal dengan tangan kanan Presiden yang berkuasa dan kerap disebut sebagai pengatur konfigurasi kekuasaan di Parlemen. Temuan tersebut adalah aib yang amat memalukan. Bagaimana mungkin saat presiden mengumandangkan perang terhadap judi online, salah satu orang terdekatnya justru diduga kuat pernah tercatat namanya dalam salah satu perusahaan judi online. Wajar saja bila hingga kini, perang terhadap judi online tidak lebih dari janji yang dilacurkan, dibenturkan dengan dominasi kekuasaan. 

Di balik setiap server judi yang tetap online, ada ketidakmauan politik. Di balik setiap warga yang terjerat utang akibat taruhan digital, ada pengabaian negara. Ini bukan sekadar absennya teknologi pemblokiran atau lambatnya kerja birokrasi; ini adalah potret pemerintahan yang berkompromi dengan kejahatan. Sistem pemerintahan telah dibajak oleh kepentingan ekonomi gelap yang menunggangi kelambanan hukum dan kesadaran moral pemerintah yang tumpul.

Negara, dalam hal ini, bukan hanya gagal menjadi pelindung, tetapi telah berubah menjadi pengatur lalu lintas kriminalitas digital— melaporkan temuan, mencatat, tetapi tak pernah benar-benar menindak. Yang terjadi bukan perang melawan judi online, melainkan simulasi penegakan hukum untuk meredam kemarahan rakyat.

Secara ekonomi, judi online juga menjadi ancaman bagi daya beli nasional. Ketika ratusan triliun dana cair masuk ke platform ilegal, uang tersebut tidak berputar dalam sektor riil. Ia lari ke luar negeri, membentuk ekonomi bayangan yang tak membayar pajak, tak menciptakan lapangan kerja, dan tak memproduksi barang atau jasa apa pun. Ini adalah ekonomi nihilistis, dan negara seperti berkompromi dengannya.

Lebih tragis lagi, judi digital menghancurkan jaringan solidaritas sosial. Ia menggerus kepercayaan antar anggota keluarga, memperburuk kemiskinan, dan menimbulkan kekerasan domestik. Di banyak desa, anak-anak muda kini lebih mengenal “Kakek Zeus” –sebutan lain untuk judi online- ketimbang para pahlawan pendiri bangsa ini. Di kota-kota, para pekerja muda lebih rajin melakukan “deposit” ketimbang mengikuti pelatihan dan meningkatkan keterampilan.

Maka, ini bukan hanya soal pelanggaran hukum, tetapi kerusakan kultural. Kita sedang menyaksikan hilangnya ethos bangsa: kerja keras, tanggung jawab, dan moralitas kolektif. Dan di tengah reruntuhan nilai itu, para pejabat penyelenggara negara enggan untuk menyentuh akar persoalan serta terkesan turut menikmati keuntungan dari taruhan dan kubangan penderitaan.

Jika perjudian digital terus dibiarkan merajalela dan negara tetap mengambil peran sebagai penonton yang acuh, maka yang tumbang bukan hanya ekonomi rakyat, melainkan bangunan kebangsaan itu sendiri. Yang muncul bukan lagi republik yang menjamin keadilan, tetapi pasar algoritma yang dikuasai segelintir elite bayangan, dengan negara menjadi pelayan diam dari arus uang gelap. Kita melihat pola yang terlalu teratur untuk disebut kelalaian: pembiaran sistematis, keterlibatan oknum, dan pembungkaman suara-suara kritis. Maka patut dicurigai: ini bukan sekadar kegagalan penegakan hukum, melainkan konspirasi diam-diam yang menguntungkan segelintir pihak dalam kekuasaan.

*Kabid PTKP PB HMI

Posting Komentar

0 Komentar
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.

Hollywood Movies