![]() |
Era kebebasan, kemajuan tekhnologi digitalisasi ini dirasakan nikmat dan manfaatnya luar biasa, namun sekaligus juga mulai menjadi ancaman bagi manusia. Cuaca ekstrim, musim tak teratur lagi panas yang berbeda dengan lalu, keganasan penjahat moral, hukum dan kemanusiaan.
Beragam sebab, akar dan pemicunya, dan sudah banyak mendapat bahasan para ahli. Dari sisi Islam pada kesempatan yang mulia ini, khatib ingin mengajak semua untuk merenungi makna peringatan Allah dalam Surat Al-Isra’ ayat 26–27, sebagai panduan hidup di tengah arus konsumerisme yang melanda, artinya:
Berikanlah hak kepada kerabat, orang miskin dan musafir. Dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros.”
“Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara setan, dan setan itu sangat ingkar kepada Tuhannya.”
Dua ayat ini menegaskan dua hal pertama bahwa pada harta kita ada miliki hak orang lain yang harus ditunaikan, biaya keluarga, anak yatim, zakat untuk masakin dan kewajiban sosial lainnya.
Kedua, Allah mengingatkan janganlah mengunakan harta sesuai selera dan sahwat, sebab pemborosan adalah perilaku setan, karena ia menjauhkan manusia dari tanggung jawab sosial dan keberkahan hidup.
Hidup di zaman yang penuh godaan konsumerisme. Gaya hidup “ingin tampil”, “ikut tren”, dan “beli karena gengsi” telah meracuni banyak umat Islam, terutama generasi muda. Padahal, Rasulullah SAW bersabda:
“Makanlah, minumlah, bersedekahlah, dan berpakaianlah tanpa berlebihan dan tanpa kesombongan.” (HR. Ahmad)
Majelis Ulama Indonesia (MUI) bahkan telah mengeluarkan fatwa bahwa gaya hidup konsumtif berlebihan yang mengabaikan kewajiban sosial adalah haram.
Pendidik mengingatkan:
“Kita perlu membangun akhlak konsumsi. Harta bukan untuk pamer, tapi untuk ibadah dan membantu sesama.”
Maka khatib mengajak mari hidup hemat dan sederhana. Hindari utang konsumtif demi gaya hidup palsu. Prioritaskan infak, sedekah, dan zakat dalam pengelolaan harta.
Ajarkan anak-anak kita arti syukur, bukan gengsi.
Ibn Katsir menafsirkan ayat ini sebagai perintah untuk memenuhi hak sosial, terutama kepada kerabat, fakir miskin, dan musafir, sebagai wujud kasih sayang dan tanggung jawab sosial.
Tabdzir (pemborosan) adalah penggunaan harta pada hal yang tidak bermanfaat, atau berlebihan meskipun pada hal yang halal.
Al-Qurthubi menjelaskan, pemborosan bukan hanya berlebihan dalam belanja, tapi juga menyia-nyiakan potensi dan nikmat Allah. Orang yang boros disamakan dengan "saudara setan" karena ikut menyebarkan kerusakan dan kesia-siaan.
Sayyid Qutb (Fi Zhilalil Qur'an) menyoroti bahwa boros adalah bentuk tidak bertanggung jawab terhadap nikmat dan amanah.
Konsumerisme adalah alat dari sistem kapitalistik yang menjauhkan manusia dari nilai-nilai spiritual dan tanggung jawab sosial.
Konsumerisme adalah gaya hidup yang mendorong orang untuk membeli barang/jasa secara berlebihan demi status, bukan kebutuhan.
Hal ini menyebabkan pemborosan sumber daya. Utang konsumtif. Menipisnya empati sosial. Kerusakan lingkungan.
Ayat ini mengajarkan bahwa harta adalah amanah yang harus disalurkan kepada yang berhak. Berlebihan dalam konsumsi menyamai perbuatan setan, karena menjauhkan dari nilai-nilai ruhani dan kepedulian sosial.
Konsumerisme harus dilawan dengan pendidikan qana’ah, kepedulian sosial, dan literasi keuangan syariah.
KH. Ali Mustafa Yaqub (mantan Imam Besar Istiqlal) mengingatkan konsumerisme adalah “perbudakan zaman modern” yang membuat orang miskin secara spiritual meski kaya secara materi.
Pesan Khutbah
Gaya hidup konsumtif bertentangan dengan ajaran Islam. Umat harus diajarkan kesadaran sosial: prioritaskan hak orang lain dari harta kita.
Gaya hidup sederhana: tidak berlebihan meski mampu. Pendidikan spiritual tanamkan bahwa harta adalah ujian, bukan tujuan.
Konklusi
Di tengah era kebebasan dan digitalisasi yang serba cepat dan menakjubkan ini, kita dihadapkan pada kemajuan yang luar biasa, namun juga ancaman yang tidak kalah mengerikan. Cuaca ekstrem, musim tak teratur, krisis moral, dan rusaknya tatanan hukum serta kemanusiaan menjadi pertanda bahwa dunia ini sedang tidak baik-baik saja. Semua itu bukan tanpa sebab—ada akar persoalan, dan salah satunya adalah gaya hidup yang salah arah
konsumerisme
Gaya hidup konsumerisme membuat kita terjebak dalam lingkaran pamer, gengsi, dan utang. Ini bukan jalan Islam.
Islam menuntun kepada hidup hemat, bersahaja, dan bertanggung jawab. Makanlah, minumlah, berpakaian dan bersedekahlah tanpa berlebihan. Gunakan harta untuk ibadah, bukan untuk kemewahan palsu. Bangun kesadaran bahwa setiap rupiah yang kita miliki adalah amanah, bukan alat untuk membanggakan diri.
Khutbah ini menjadi seruan untuk kembali kepada nilai-nilai Islam: qana’ah, kesederhanaan, dan kepedulian sosial.
Mari tanamkan pada diri, keluarga, dan generasi muda.
Hidup hemat adalah ibadah.Kesederhanaan adalah kekuatan. Harta adalah amanah. Infak, sedekah, dan zakat adalah solusi.
Semoga khutbah ini menjadi pengingat bahwa keberkahan bukan terletak pada banyaknya harta, tetapi pada cara kita mengelola dan menyalurkannya.
Wallahu a’lam. ds.09052025
*Khutbah di Masjid Pelindo Teluk Bayur, 09 Mei 2025