![]() |
Pemerintah daerah Jawa Barat melalui kebijakan Gubernur Dedi Mulyadi baru-baru ini meluncurkan program kontroversial: mengirim anak-anak "nakal" ke barak TNI guna diberikan pendidikan karakter berbasis disiplin militer. Kebijakan ini muncul sebagai respons terhadap meningkatnya perilaku menyimpang di kalangan pelajar, seperti tawuran, pembullyan, hingga konsumsi alkohol. Namun, efektivitas pendekatan semacam ini patut dipertanyakan, terutama ketika diterapkan pada generasi yang lahir di era digitalisasi—generasi yang rentan terhadap masalah kesehatan mental.
Generasi muda saat ini tumbuh dalam situasi yang sangat berbeda dibandingkan masa lalu. Mereka lahir dalam pusaran teknologi, media sosial, dan tekanan sosial yang nyaris tak henti. Kebutuhan emosional dan psikologis mereka juga mengalami pergeseran. Mereka tidak hanya membutuhkan kontrol dan aturan, tetapi juga pemahaman, empati, dan ruang untuk berdialog. Di sinilah kebijakan seperti pengiriman ke barak militer menjadi tidak relevan secara pendekatan psikologis.
Dulu, pendidikan keras ala militer dengan bentakan, baris-berbaris, dan hukuman fisik dianggap ampuh membentuk karakter kuat. Namun, pendekatan ini mengabaikan prinsip fundamental psikologi perkembangan: setiap individu memiliki latar belakang dan kebutuhan emosional yang berbeda. Anak-anak yang dianggap “nakal” belum tentu berangkat dari niat buruk. Bisa jadi mereka tumbuh di keluarga yang tidak utuh, mengalami kekerasan domestik, atau sekadar mencari perhatian karena merasa diabaikan.
Label “nakal” pun sejatinya bersifat subjektif. Tanpa analisis yang mendalam dari psikolog atau konselor, kita berisiko menempatkan anak-anak yang sebenarnya membutuhkan bimbingan menjadi korban dari sistem yang hanya mengedepankan disiplin tanpa empati. Pendekatan militer yang mengandalkan struktur dan kekerasan simbolik bisa memperburuk kondisi psikis anak-anak, apalagi jika mereka sebelumnya telah mengalami trauma.
Anak-anak membutuhkan figur dewasa yang mampu melakukan pendekatan secara personal. “Deep talk” atau percakapan mendalam yang membangun kepercayaan dan rasa aman, jauh lebih efektif dalam membentuk karakter anak. Melalui dialog yang penuh empati, anak dapat diarahkan untuk mengenali nilai-nilai baik tanpa merasa diintimidasi. Pendidikan karakter tidak bisa hanya dipaksakan secara struktural; ia harus diinternalisasi melalui hubungan emosional yang kuat dan konsisten.
Solusi terhadap kenakalan remaja seharusnya tidak bersifat represif, tetapi transformatif. Pendekatan berbasis psikologi perkembangan, konseling intensif, keterlibatan keluarga, dan pendidikan yang inklusif jauh lebih relevan di era sekarang. Bila negara serius ingin menyelamatkan generasi muda, maka pendekatan humanistik—bukan militeristik, harus menjadi poros utama kebijakan.
Dengan demikian, alih-alih mengirim mereka ke barak TNI, mengajak mereka duduk bersama, memahami latar belakang mereka, dan membimbing mereka dengan kasih adalah jalan panjang yang lebih menjanjikan. Karena generasi hari ini tidak cukup dibentak agar berubah. Mereka perlu dipeluk agar bertumbuh.