![]() |
Tanggal 2 Mei telah tiba. Itu artinya, perayaan Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) kembali menggema di mana-mana. Dari upacara hingga lomba-lomba mewarnai gedung-gedung institusi pendidikan.
Tapi, apa cukup dengan merayakan ritual tahunan begitu saja, tanpa benar-benar refleksi tentang makna pendidikan itu sendiri? Sebenarnya, pendidikan yang seperti apa sih yang paling kita butuhkan saat ini—di saat sebagian besar orang hampir 24 jam hidup di ruang digital, plus ditemani asisten Artificial Intelligence (AI)?
Pendidikan hari ini nggak lagi soal guru, kurikulum, bangku, papan tulis, dan jadwal pelajaran. Pendidikan bisa hadir dari layar HP, warung kopi, jalanan, dan pasar. Pendidikan juga muncul dari obrolan tengah malam bareng bestie, dari hasil menyendiri, dari kegagalan, juga dari hinaan netizen.
Hari Pendidikan Nasional ini sebaiknya jadi momen tepat buat kita renungkan: pendidikan macam apa yang benar-benar bikin kita bukan cuma pintar dalam banyak ilmu, jago berdebat dengan rasionalisasi ini-itu, tapi juga tumbuh sebagai manusia yang berkesadaran dan bermakna.
Di zaman AI, ketika mesin bisa meniru cara kita menulis, berbicara, bahkan berpikir, kita mesti balik ke akar: apa yang bikin kita tetap jadi manusia? Jawabannya adalah proses belajar yang membentuk kesadaran—bukan sekadar kemampuan.
Nah, menurut aku, lima jenis pendidikan ini esensial banget buat kita semua, khususnya anak muda Indonesia, untuk bisa self growth di tengah gempuran zaman digital dan AI. Yuk, kita bahas satu per satu.
*Pertama, Pendidikan Diri (Self Education)*
Pendidikan diri dimulai dari pertanyaan yang simpel tapi berat: siapa aku, mau jadi apa aku, dan akan dikenang sebagai apa aku setelah mati nanti?
Pertanyaan-pertanyaan itu mengajak kita mengingat kembali filosofi penciptaan manusia, bagaimana menjalankan tujuan hidup itu di dunia—apakah memilih jalan baik atau buruk—dan bagaimana kita bermanfaat untuk lingkungan.
Kemudian, mengenal potensi diri yang bisa dimaksimalkan di jalan yang benar, dan mengenal kelemahan diri untuk diolah menjadi kekuatan.
Di luar itu, mengenal diri juga bukan cuma soal menemukan passion, tapi juga menerima luka, trauma, dan hal-hal yang belum selesai, sebagai bagian dari proses bertumbuh. Self education biasanya nggak diajarkan di sekolah, ruang kuliah, atau medsos, tapi di ruang-ruang kesunyian.
*Kedua, Pendidikan Emosional (Emotional Growth)*
Ini bukan tren baru, tapi kebutuhan mendesak. Data WHO menyebut 1 dari 5 remaja Indonesia mengalami masalah kesehatan mental. Mahasiswa di berbagai kampus memutuskan bunuh diri karena berbagai beban hidup. Dokter, dosen, profesor, ibu rumah tangga, juga terjerat kasus bunuh diri.
Tapi kenapa kita masih jarang diajarkan cara marah yang sehat, cara memaafkan dan menerima diri, cara menghibur diri, atau sekadar menyadari bahwa menangis bukan kelemahan, dan kegagalan itu bukan akhir kehidupan?
Selama pendidikan kita masih fokus pada soal ranking, angka, dan prestasi fisik, selama itu pula generasi kita hanya akan kaya bicara ini-itu, tapi miskin dalam mengelola emosinya. Terlihat hebat dan bahagia di depan layar, tapi di balik layar mereka adalah jiwa-jiwa yang sepi dan nggak bertumbuh.
*Ketiga, Pendidikan Digital (Digital Literacy)*
Nyatanya, kita masih fear of missing out (FOMO)—takut ketinggalan kejadian apa pun di dunia permedsosan. Semua ingin kita ketahui: dari lagu “Garam dan Madu” sampai goyangan “Stecu-Stecu”. Dari berita pernikahan artis sampai merek celana dalam yang mereka pakai.
Sialnya, karena nggak punya literasi digital yang baik, kita gampang termakan clickbait, hoaks, dan ikut tren yang nggak sehat.
Di zaman algoritma, siapa yang bisa memfilter informasi adalah yang akan bertahan.
Pendidikan digital bukan hanya tentang tahu bikin konten keren di medsos, canggih pakai AI, tapi juga tentang bagaimana kritis membaca konten, memfilter mana yang perlu ditonton, direspons, direpost, dan mana yang perlu dibuang ke tempat sampah.
*Keempat, Pendidikan Sosial (Social Education).*
Scrolling medsos memang asyik. Tapi ketemuan, ketawa bareng, mendengar dan belajar langsung pada orang lain adalah cara belajar yang tak tergantikan oleh mesin secanggih apa pun.
Bertemu banyak orang melatih skill komunikasi yang efektif, membangun jaringan, dan membuka banyak peluang: kerja, beasiswa, bisnis, proyek sosial, dan mungkin jodoh.
Pendidikan sosial menumbuhkan empati, bukan sekadar opini atau debat akal-akalan.
*Kelima, Pendidikan Nilai & Spiritualitas*
Ini pendidikan level tinggi. Pendidikan ini nggak selalu diajarkan, tapi harus ditemukan. Di dunia yang makin canggih, kita tetap butuh nilai untuk berpijak: kejujuran, tanggung jawab, dan makna.
Pendidikan nilai bukan tentang agama semata, tapi tentang hidup yang dijalani dengan kesadaran dan penuh makna.
Jadi, di Hari Pendidikan Nasional ini, mari kita rayakan bukan hanya dengan upacara, tapi dengan kesadaran. Bahwa pendidikan bukan milik guru, dosen, atau sekolah saja. Pendidikan adalah hak sekaligus tanggung jawab kita sendiri.
Kita mungkin nggak bisa kendalikan masa depan dunia. Tapi kita bisa kendalikan diri sendiri ketika dunia terus berubah. Karena di zaman AI ini, yang bikin kita tetap tumbuh adalah hal-hal yang nggak bisa diajarkan oleh mesin.
Selamat Hari Pendidikan Nasional.
Jakarta, 2 Mei 2025
*(Sekretaris Forum Kreator Era AI/KEAI)