Hot Widget

Type Here to Get Search Results !

"Saya Adalah Perti" Oleh: Duski Samad

Topik tulisan "Saya Adalah Perti" ditulis oleh seorang pegiat medsos menanggapi viralnya Seminar Internasional dan Muzakarah Pendidikan Perti sekaligus pengukuhan UAS sebagai Direktur Lembaga Penyelenggaraan Pendidikan Perti Nasional (LP3N) yang berlangsung di Pondok Pesantren Nurul Azhar pimpinan UAS di Rumbai Pekanbaru. 

Kutipan medsos ini....Muzakarah Nasional yang dinakhodai UAS membuat nama PERTI kembali menjulang. Kawan-kawan saya yang dulu abu-abu, sekarang dengan lantang berucap: Saya adalah PERTI. Falhamdulillah.

PERTI adalah organisasi yang didirikan ulama-ulama Minangkabau pada 1928. PERTI dikenal dengan 4 pilar: Akidah Ahlussunnah wal Jama'ah (Asy'ari dan Maturidi), Fiqih bermazhab Syafi'i, Tasawuf Sunni, dan bertariqat Naqsyabandiyah.

MENGAPA ADA YANG RAGU?

Keragu-raguan sebagian jamaah PERTI (Persatuan Tarbiyah Islamiyah) dalam menyebut dirinya sebagai bagian dari "PERTI" banyak analisisnya. Ada beberapa sebab dan faktor yang bersifat historis, ideologis, sosial, dan kultural. 

1. Dampak Sejarah Konflik Internal.

Sejarah perpecahan PERTI menjadi dua kubu besar, yaitu PERTI kubu politik (yang ikut Pemilu) dan PERTI yang tetap fokus sebagai organisasi keagamaan dan pendidikan (Tarikat dan Madrasah Tarbiyah), membuat sebagian jamaah enggan terasosiasi dengan konflik tersebut.

Trauma terhadap polarisasi pasca-1965 juga membuat sebagian tokoh dan jamaah memilih identitas keislaman yang netral, seperti "kaum tarbiyah" atau "kaum surau", daripada menyebut langsung sebagai "PERTI".

2. Lemahnya Konsolidasi Identitas Pasca Rekonsiliasi.

Meski secara formal terjadi ishlah (rekonsiliasi) antara dua kubu PERTI pada 2016, konsolidasi di tingkat akar rumput belum merata. Sebagian jamaah belum merasa “dinaungi kembali” oleh organisasi induk secara struktural maupun kultural. Ini kini terus digenjot pasca ishlah.

3. Kurangnya Regenerasi dan Pembaruan Organisasi.

Kegiatan organisasi yang kurang terasa di tingkat madrasah, surau, atau masyarakat membuat identitas "PERTI" kehilangan daya tarik bagi generasi muda dan bahkan jamaah tua. Mereka lebih mengenal nama madrasah atau tokoh lokal daripada struktur PERTI.

4. Stigma Politis dan Segmentasi Sosial

Di beberapa daerah, menyebut diri "PERTI" dianggap identik dengan aliran atau kelompok tertentu secara politik atau bahkan dikaitkan dengan tradisionalisme yang "kuno", padahal nilai-nilai aslinya sangat moderat dan kontekstual.

5. Ketiadaan Narasi Publik yang Kuat.

Tidak banyak narasi, publikasi, atau media modern yang mengangkat kebanggaan menjadi bagian dari PERTI, seperti tokoh-tokoh besar yang lahir dari PERTI, jaringan madrasah, atau kontribusi PERTI terhadap bangsa.

NARASI IDENTITAS JEMAAH PERTI

"Bangga Menjadi PERTI: Warisan Ilmu, Akhlak, dan Perjuangan"

1. Sejarah yang Mulia

"PERTI bukan sekadar nama. Ia adalah jejak para ulama pewaris nabi yang menyambung sanad keilmuan dari ulama yang arif dan alim sampai ke pelosok nusantara."

PERTI lahir dari semangat para alim ulama Minangkabau seperti Syekh Sulaiman ar-Rasuli (Inyiak Canduang) dan kawan-kawan, yang tidak hanya mengajar mengaji, tetapi membangun sistem pendidikan Islami yang kuat: Madrasah Tarbiyah Islamiyah (MTI).

Ulama dan Perti hadir bukan untuk membelah umat, tapi untuk memadukan tarekat, syariat, dan ilmu alat dalam bingkai Ahlussunnah wal Jamaah.

2. Nilai yang Luhur

"Kami PERTI karena kami cinta ilmu, adab, dan ukhuwah. Kami dididik untuk tak hanya tahu, tapi juga tunduk pada adab."

Identitas PERTI bukan sebatas organisasi, tapi mazhab hidup: cara berpikir, cara berdakwah, dan cara bersikap. 

Di PERTI, kita belajar manhaj moderat, cinta ulama, menghargai tradisi, sekaligus siap menghadapi zaman. PERTI mengajarkan ijtihad dalam bingkai sanad, bukan ikut-ikutan tanpa dasar.

3.Aktualisasi Zaman Ini. "Kalau dulu PERTI melahirkan madrasah dan kader ulama, kini saatnya PERTI bangkit menjadi gerakan ilmu, dakwah digital, dan pemberdayaan umat."

Kita harus menyebut diri jamaah PERTI dengan bangga, karena ini bukan soal nostalgia, tapi soal melanjutkan warisan dan cita-cita para ulama.

Saatnya madrasah PERTI bertransformasi menjadi pusat keunggulan, bukan hanya tafaqquh fiddin, tapi juga ekonomi umat, kepemimpinan, dan teknologi.

PERTI harus hadir di ruang publik dengan wajah cerah, ulama yang bijak, pemuda yang cakap, dan komunitas yang berdampak.

Tagline Penguat Identitas

"PERTI bukan masa lalu. PERTI adalah masa depan warisan ulama."

"Dari surau ke dunia. Dari madrasah ke masa depan. Itulah PERTI."

"Kami tidak malu jadi PERTI. Kami bangga mewarisi cahaya."

Kesimpulan

Seminar Internasional dan Muzakarah Nasional Pendidikan PERTI yang dipimpin oleh Ustadz Abdul Somad (UAS) di Rumbai, Pekanbaru, menjadi momentum kebangkitan kembali nama besar PERTI di ruang publik nasional. Seruan "Saya adalah PERTI" yang viral di media sosial adalah isyarat kuat bahwa identitas PERTI tengah menemukan momentumnya kembali, terutama di tengah kerinduan umat akan pendidikan yang bersanad, moderat, dan membumi.

Namun, kita tidak bisa menutup mata atas kenyataan bahwa sebagian jamaah masih ragu atau enggan menyebut dirinya bagian dari PERTI. Ini adalah dampak warisan sejarah, trauma konflik internal, lemahnya konsolidasi pasca ishlah, hingga belum masifnya narasi publik yang menguatkan bangga menjadi PERTI.

Membangun kesadaran kolektif, menyusun narasi kebanggaan, dan memperkuat wajah keummatan PERTI di era digital menjadi keniscayaan untuk menjawab tantangan ini.

Rekomendasi

Revitalisasi Narasi Publik. Produksi konten digital, buku, dan media kreatif yang mengangkat keunggulan, kontribusi, dan kebanggaan menjadi bagian dari PERTI.

Gunakan tagline seperti "Saya adalah PERTI" sebagai kampanye nasional kesadaran identitas.

Penguatan Identitas Kultural dan Keilmuan. Sosialisasikan kembali 4 pilar PERTI (akidah Asy’ari-Maturidi, fiqih Syafi’i, tasawuf sunni, tarekat Naqsyabandiyah dan mu'tabarah) dalam bahasa kekinian. Perkuat sanad keilmuan dari surau ke kampus, dari madrasah ke ruang publik.

Konsolidasi Pasca Rekonsiliasi

PP PERTI dan PD dan PC perlu menyapa kembali madrasah, surau, dan alumni MTI yang selama ini "merasa jauh", dengan pendekatan ukhuwah dan pemberdayaan.

Regenerasi dan Kaderisasi Strategis. Ciptakan program kaderisasi nasional PERTI berbasis digital dan lokal: Sekolah Pemikiran PERTI, Beasiswa Kader Ulama PERTI, atau Forum Muda PERTI.

Kemitraan dengan Tokoh dan Media. Melibatkan figur publik seperti UAS untuk memperkuat branding PERTI sebagai gerakan keummatan yang kuat dalam tradisi, unggul dalam solusi, dan moderat dalam jalan dakwah adalah langkah tepat.

"Saya adalah PERTI" bukan hanya slogan, tapi kesaksian atas cinta kepada warisan ulama. Ia adalah syahadah identitas, dan janji untuk menjaga, merawat, serta meneruskan jalan dakwah dan pendidikan para pendiri PERTI. Kini saatnya seluruh jamaah berkata dengan yakin: Saya adalah PERTI!. Wallahu waliyuttaufiq wal hidayah.@pondok pesantren#nurulazharrumbaipekanbaru240425.

*Guru Besar UIN Imam Bonjol  

Posting Komentar

0 Komentar
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.

Hollywood Movies