![]() |
Indonesia tengah menghadapi kenyataan pahit: ekonomi kita sedang tidak sehat. Tanda-tandanya jelas terlihat di lapangan bursa kerja dipadati pencari kerja dari berbagai latar belakang, gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) terus terjadi, dan jumlah pemudik pada Lebaran 2025 mengalami penurunan signifikan. Ketiga hal ini bukan sekadar gejala, melainkan sinyal kuat bahwa daya tahan ekonomi nasional sedang melemah.
Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) yang dirilis Bank Indonesia memperkuat kekhawatiran ini. Sejak Desember 2024, IKK menunjukkan tren penurunan yang konsisten. Artinya, masyarakat semakin pesimistis terhadap kondisi ekonomi saat ini maupun harapan terhadap masa depan. Penurunan ini juga menunjukkan lemahnya daya beli, kekhawatiran atas keamanan kerja, dan ketidakpastian ekonomi yang makin dirasakan masyarakat luas.
Fenomena membludaknya pencari kerja di berbagai job fair menjadi gambaran nyata dari persoalan pengangguran. Yang memprihatinkan, mereka yang kini mengantre pekerjaan bukan hanya lulusan baru, melainkan juga mantan direktur dan profesional berpengalaman. Nama-nama besar dengan rekam jejak mumpuni pun kini tersisih, mencerminkan bahwa kondisi ini bukan hanya soal kurangnya keterampilan, tetapi lebih pada kerapuhan struktur ekonomi yang tidak mampu menampung tenaga kerja yang ada.
Sementara itu, penurunan jumlah pemudik pada musim Lebaran juga menjadi indikator lain dari kelesuan ekonomi. Tradisi mudik, yang biasanya menjadi pendorong konsumsi rumah tangga, justru merosot tajam. Ini menunjukkan banyak masyarakat yang tidak lagi memiliki kemampuan finansial untuk pulang kampung. Bila konsumsi rumah tangga, penopang utama pertumbuhan ekonomi nasional melemah, maka sektor-sektor lain seperti transportasi, perdagangan, dan UMKM pun ikut terdampak.
Situasi ini seharusnya menjadi peringatan keras bagi pemerintah. Kita tidak bisa terus-menerus terpaku pada narasi pemulihan pasca pandemi sementara kenyataan di lapangan menunjukkan hal sebaliknya. Tantangan global seperti ketidakpastian geopolitik dan tekanan inflasi memang tidak bisa dihindari, tetapi lemahnya kebijakan perlindungan tenaga kerja, minimnya transformasi sektor industri, dan ketergantungan pada investasi asing membuat kita rentan.
Pemerintah perlu bergerak cepat dan strategis. Perlu ada kebijakan yang menciptakan lapangan kerja baru secara riil dan berkelanjutan, bukan sekadar solusi jangka pendek. Sektor riil harus diperkuat, stimulus ekonomi harus tepat sasaran, dan perlindungan terhadap pekerja perlu diperluas. Tak kalah penting, proses penyusunan solusi harus melibatkan berbagai pihak: akademisi, pelaku usaha, dan masyarakat sipil.
Ekonomi bukan sekadar urusan angka. Ini soal harapan dan keberlangsungan hidup. Ketika angka pengangguran naik dan konsumsi turun, itu bukan hanya krisis ekonomi, tetapi juga krisis sosial. Kini saatnya pemerintah mengakui bahwa kita sedang menghadapi masalah serius, dan bergerak cepat untuk mencari solusinya, sebelum semuanya terlambat.