![]() |
„Seperti yang akan kami tunjukkan, negara miskin menjadi miskin karena mereka yang berkuasa membuat pilihan yang menciptakan kemiskinan.“ —
Daron AcemoÄŸlu and James A. Robinson, Why Nations Fail: The Origins of Power, Prosperity, and Poverty (2012).
Antropolog Clifford Geerzt(1920-2006), setelah tenar dengan karyanya, Agama Jawa(The Religion of Java,1960), telah mengajukan tesis sosio-kultur Jawa dalam tiga pelapisan: priyayi, santri dan abangan.
Namun, dua puluh tahun kemudian, Geerzt mengajukan lagi kritik negara sinkretis dalam Negara: The Theatre State in Nineteenth- Century Bali(1980) dengan uraian sedikit panjang di bawah ini:
„Kremasi yang luar biasa, pemotongan gigi, pentahbisan kuil, ziarah, dan pengorbanan darah, yang memobilisasi ratusan bahkan ribuan orang dan sejumlah besar kekayaan, bukanlah sarana untuk mencapai tujuan politik; tujuan itu sendiri adalah tujuan itu sendiri, tujuan itulah yang menjadi tujuan negara.
Seremonialisme istana adalah kekuatan pendorong politik istana; dan ritual massal bukanlah alat untuk menopang negara, tetapi negara, bahkan pada saat-saat terakhirnya, adalah alat untuk melaksanakan ritual massal. Kekuasaan melayani kemegahan, bukan kekuasaan kemegahan.“
Berpijak pada strategi kebudayaan filsuf Belanda, C.V. Peuersen(1920-1996) dikatakan bahwa semua peradaban vis a vis kebudayaan manusia tumbuh bertransformasi dari fase mitis hingga mencapai kesempurnaan pada fase ontologis dan operasional.
Ketika revolusi kognitif berkembang dari era purba sekitar 10.000 tahun sebelum masehi, ritual menjadi pangkal pembangunan komunitas ketika itu.
Meski tak sepenuhnya punah oleh fase ontologi dan operasional yang dipicu kemudian oleh revolusi ilmiah dengan penemuan bajak, kincir angin, mesin huller hingga mesin uap dan percetakan, fase mitis ini dioper secara mutual oleh agama melalui institusi ritual.
Di era pra Islam, misalnya, tradisi „mala“(aristokrasi) Quraish, praktek ritual menyembah arbab(muasal kata tunggal: رب; rabb) mulai memisahkan tradisi mitis itu.
Dengan memanfaatkan dua pendekatan, „turqusy“(pengumpulan kapital) dan „ilaf“(jalan pengamanan), jalur perdagangan awal global di antara dua imperium kuat pada 600 masehi, Romawi dan Persia, dapat mengendalikan jalur utama perdagangan di laut mediterinian.
Di antaranya, pesat berkembang peradaban daulah rasul yang bisa diacu dalam „Jalan Politik Muhammad“(2021), karya pemikir Mesir Sayyid Al-Qimni(1947-2022) dan Maxime Rodinson(1915-2004) dalam „Islam and Capitalism“(1966).
Untuk mengatasi jalur global imperium — sebelum jalur sutra(silk road) dan rempah(emporium-aromatum) tumbuh pesat mulai abad ke-12 masehi — para aristokrat(merkantelis), kaisar dan santo atau dukun(μάγος) kelak lebih dikenal tukang sihir dan mistikus, turut berperan untuk meramalkan „berkat dan kutuk“ yang bisa diraih atau menimpa mereka.
Sejak itu, istilah sinkretis(syncretic) dipraktekkan sebagai bentuk memadukan antara praktek dan kepercayaan(belief) dalam menjalani kehidupan lebih progres berdasarkan akal(logos) belaka.
Nantinya, ritual-ritual itu tak lagi berada di wilayah mitis. Namun, secara ontologis-operasional menjelma ke dalam industrialisasi-mekanistik dan menanggalkan apa yang diajukan David Olusoga(55), sejawaran Nigeria-Inggris, dalam Civilisations: The Cult of Progress(2018).
Menilik kunjungan para menteri dan gubernur ke Solo menemui Jokowi(https://solo.tribunnews.com/amp/2025/04/04/daftar-menteri-wamen-hingga-gubernur-yang-kunjungi-jokowi-di-solo-mengaku-sekadar-silaturahmi) — di era di mana interaksi, koneksi dan komunikasi makin mutakhir — bisa diduga bahwa praktek klenik kekuasaan(istilah antropologinya ‚cargo cult‘) — terus dihidupkan sebagai reaksi dan respon atas begitu kemaruk dan peliknya konstelasi dan performans negara yang sejatinya harus dikelola dengan prinsip logika organisasi modern.
Sumber-sumber yang digunakan untuk menghadapi sebut saja krisis politik negara atau distribusi pengelolaan kekayaan negara yang terancam kolaps, sungguh jauh dari apa yang diingatkan oleh penemu orientalisme, Edward W. Said(1935-2003), sebagai politik pengetahuan.
Atau, bagaimana sebuah organisasi moderen, negara, korporasi dan warga sipil berpartisipasi dalam gerakan ontologis dan operasional yang diasuh oleh akalsehat dan bukan akalklenik.
Antropolog Tania Murray Li dengan bagus menulisnya dalam „The Will to Improve: Governmentaly, Development and the Practice of Politics“(2007) sebagai suatu kritik terhadap antropologi pembangunan.
Karena itu, Daniel Dennet(1942-2024) — dengan mengamati fenomena agama sebagai organisasi mutakhir yang tumbuh dari fase mitis(cargo cult) di tengah lasaknya sains dan pembangunan — harus merespon perubahan manusia moderen dan mutakhir itu dengan cara menohok lewat bukunya, Breaking the Spell(Mengusir Mantra,2006).
Ia mengingatkan „betapapun agama nerupakan kebutuhan aktual umat manusia dalam fenomena agama, praktek mantra sebaiknya dijauhkan dari proyek-proyek mutakhir yang mengandalkan „rasionalisme nilai“ — mengutip istilah Habermas — dalam membangun ruang publik baru yang super megapolitan dan teknostruktur yang kompleks.
Lalu apa relevansinya dengan 80.000 Kordes, MBG, Retret Menteri dan Kepala Daerah(https://www.tempo.co/politik/prabowo-berencana-mengulang-retreat-menteri-untuk-kepala-daerah-terpilih-usai-pilkada-2024-1193279) hingga rencana mengevakuasi 1000 warga Gaza(https://www.bbc.com/indonesia/articles/c9w8gpvvvv1o.amp) di tengah efisiensi bujet, indeks IHSG anjok, kurs dollar naik, 704 CPNS mundur dan ular tangga PHK?