Hot Widget

Type Here to Get Search Results !

Fromm dan Algoritme Tuhan oleh ReO Fiksiwan

“Dari sudut pandang ini, konsekuensi logis dari pemikiran monoteistik adalah penolakan terhadap semua 'teologi', terhadap semua 'pengetahuan tentang Tuhan'. — Erich Fromm(1900-1980), Die Kunst der Liebe (1956).

Untuk mengisi celah ekstrim antara definisi dan hakikat Tuhan, kegagalan hipotetis Tuhan ala fisikawan Victor J. Stenger (1935-2014) telah dituangkan dalam God: The Failed Hypothesis: How Science Shows That God Does Not Exist (2007).

Namun jauh sebelum itu, setengah abad silam (1956), Erich Fromm (1900-1980) pun ikut mengritik kejanggalan dikotomi definisi dan hakikat ilahi melalui: You Shall be as Gods: A Radical Interpretation of the Old Testament and Its Tradition(1966).

Bagi Fromm, hakikat Tuhan „Karena memang demikian, kritik terhadap gagasan tentang Tuhan, sebagaimana diungkapkan oleh Freud, cukup tepat. 

Akan tetapi, kesalahannya adalah pada kenyataan bahwa ia mengabaikan aspek lain dari agama monoteistik, dan inti sejatinya, yang logikanya justru mengarah pada negasi konsep Tuhan ini. 

Orang yang benar-benar religius, jika ia mengikuti hakikat gagasan monoteistik, tidak berdoa untuk apa pun.

Juga, tidak mengharapkan apa pun dari Tuhan. Ia sama sekali tidak mencintai Tuhan seperti seorang anak mencintai ayahnya atau ibunya.

Padahal, ia telah memperoleh kerendahan hati untuk merasakan keterbatasannya dan sampai pada tingkat mengetahui bahwa ia tidak tahu apa pun tentang Tuhan. 

Tuhan menjadi baginya sebuah simbol di mana manusia, pada tahap awal evolusinya, telah mengungkapkan totalitas dari apa yang diperjuangkan manusia sebagai wilayah dunia spiritual, cinta, kebenaran, dan keadilan. 

Ia memiliki keyakinan pada prinsip-prinsip yang diwakili oleh 'Tuhan'. Merefleksikan tentang kebenaran, hidup dalam kasih dan keadilan, dan menganggap seluruh hidupnya hanya berharga sejauh hal itu memberinya kesempatan untuk mencapai pengembangan kekuatan manusiawinya yang lebih penuh.

Sebagai satu-satunya kenyataan yang penting, sebagai satu-satunya objek 'perhatian utama'; dan, akhirnya, ia tidak berbicara tentang Tuhan bahkan tanpa perlu menyebut nama-Nya (definitif?)

Mencintai Tuhan, jika ia akan menggunakan kata ini, berarti merindukan tercapainya kapasitas penuh untuk mencintai, untuk realisasi apa yang 'Tuhan' wakili dalam diri sendiri. 

Jawaban Fromm, sebagai orang dipengaruhi Freud dan sama-sama biogenetik Yahudi, tentu bisa dirujuk pada Moses dan Monoteisme-nya Freud.

Karena itu, kegelisahan non hipotetis itu Fromm jabarkan seperti berikut:

„Karena Tuhan adalah Bapa, maka saya adalah anak. Saya belum sepenuhnya bangkit dari keinginan autis akan kemahatahuan dan kemahakuasaan.  

Saya belum memperoleh objektivitas untuk menyadari keterbatasan saya sebagai manusia, ketidaktahuan saya, ketidakberdayaan saya. 

Saya masih mengklaim, seperti seorang anak, bahwa pasti ada seorang Bapa yang menyelamatkan saya, yang mengawasi saya, yang menghukum saya.

Seorang Bapa yang menyukai saya ketika saya patuh, yang tersanjung dengan pujian saya dan marah karena ketidakpatuhan saya. 

Jelas sekali, mayoritas orang, dalam perkembangan pribadi mereka, belum mengatasi tahap kekanak-kanakan ini, dan karenanya kepercayaan kepada Tuhan bagi kebanyakan orang adalah kepercayaan kepada Bapa yang menolong - sebuah ilusi kekanak-kanakan. 

Terlepas dari kenyataan bahwa konsep agama ini telah diatasi oleh beberapa guru besar umat manusia, dan oleh sebagian kecil manusia, konsep ini masih merupakan bentuk agama yang dominan.“

Untuk sesi non hipotetis algoritme Tuhan, pantas lah Erich Fromm harus menulis "You Shall Be as Gods: A Radical Interpretation of the Old Testament and Its Tradition" pada tahun 1966. 

Berikut beberapa latar pergumulan intelektual yang mendasari lahirnya salah satu kritik teologi filsafat Barat mutakhir ini, di antaranya:

Sebagai seorang psikoanalis yang terpengaruh oleh teori Sigmund Freud, Fromm ingin menerapkan prinsip-prinsip psikoanalisis untuk memahami konsep Tuhan dan spiritualitas dalam Perjanjian Lama. Khususnya, serangan Marxisme radikal.

Demikian pula, hasratnya ingin mengritik konsep teologi tradisional(Taurat-Injil) yang menurutnya terlalu fokus pada konsep Tuhan yang transenden dan jauh dari pengalaman manusia yang imanen.

Sementara, ketika buku ini dipublis, masa Perang Dingin, konflik antara Barat dan Timur mencapai puncaknya, hingga Fromm ingin menawarkan alternatif terhadap konsep Tuhan yang digunakan sebagai alat untuk membenarkan kekuasaan dan dominasi.

Terakhir, ia terpengaruh oleh gerakan sosial dan politik pada masa itu, seperti gerakan hak sipil dan gerakan anti-perang. 

Perspektif yang lebih radikal dan kritis terhadap konsep Tuhan, nyaris tak terhindarkan ketika Fromm harus “exile” dari Jerman di bawah rezim Hitler dan Nazi ke Amerika hingga wafatnya.

Sebagai seorang dari latar keluarga Yahudi Ortodoks dan kemudian menjadi ateis — sebelum akhirnya menemukan kembali imannya — Fromm memiliki pengalaman pribadi mendalam dengan agama dan spiritualitas.

Untuk itu, pencarian makna yang mendalam tentang konsep Tuhan dan spiritualitas hendak dicarikan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan eksistensial tentang makna hidup dan tujuan manusia.

Dengan bertolak dari You Shall Be as Gods" sebagai upaya untuk mengkritik konsep teologi tradisional, Fromm menawarkan alternatif terhadap konsep Tuhan, dan membagikan pengalaman pribadinya tentang pencarian makna dan spiritualitas.

Dalam buku ini, di antara puluhan lainnya, Fromm berusaha mendukung Weltanschauung-nya yang khusus—humanisme mistis ateistik (atau nonteistik)—dengan mengartikulasikan akarnya dalam Alkitab Ibrani dan tradisi Yahudi berikutnya. 

Ia mencoba menunjukkan bagaimana konsep Tuhan berevolusi dari dewa otoriter yang bersifat kekeluargaan (Tuhan Eden), menjadi raja konstitusional yang semakin terbatas (Tuhan pembuat perjanjian).

Bahkan menjadi Tuhan tanpa nama yang menyatakan diri-Nya kepada Musa (“Aku adalah Aku”) dan Tuhan Maimonides (tanpa atribut esensi). 

Pada titik ini, Fromm percaya, panggung telah disiapkan untuk “ateisme,” karena langkah selanjutnya adalah menghilangkan konsep “Tuhan” sama sekali, kecuali mungkin sebagai “simbol puitis x.” 

Bahwa x adalah proyeksi pengalaman ego-transendensi primer dan mistis manusia di mana ia melihat dirinya sebagai “sistem terbuka” daripada entitas yang tetap.

"You Shall Be as Gods"(terjemahan, Manusia Menjadi Tuhan, Jalasutra,2003) membahas tentang interpretasi radikal terhadap Perjanjian Lama dan tradisinya. 

Fromm berusaha menunjukkan bahwa konsep Tuhan dalam Perjanjian Lama berevolusi dari Tuhan yang otoriter menjadi Tuhan yang lebih terbatas dan akhirnya menjadi Tuhan yang tidak dapat digambarkan.

Di bagian lain, Fromm juga membahas tentang konsep "mystical humanism" yang menekankan pentingnya pengalaman spiritual dan hubungan antara manusia. 

Ia berpendapat bahwa Tuhan tidak harus dipandang sebagai sesuatu yang terpisah dari manusia, melainkan sebagai simbol dari pengalaman spiritual yang lebih dalam (peak of experience).

Posting Komentar

0 Komentar
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.

Hollywood Movies