![]() |
Setiap pertemuan dan permulaan pembicaraan umat Islam mengucapkan mendoakan keberkahaan, assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh. Artinya kata "selamat" memiliki beberapa makna tergantung pada konteksnya, tetapi secara umum berarti bebas dari bahaya, kecelakaan, atau malapetaka. Misalnya, "Semoga perjalananmu selamat." Berhasil atau sukses. Contohnya, "Selamat atas kelulusanmu!" Sejahtera dan damai.
Seperti dalam ungkapan "hidup selamat dunia akhirat."
Sedangkan "berkah" berarti karunia atau kebaikan dari Tuhan yang membawa manfaat dan kebaikan terus-menerus – Misalnya, "Semoga rezekimu penuh berkah." Sesuatu yang bertambah baik, bermanfaat, dan membawa kebahagiaan – Contohnya, "Waktu yang berkah adalah waktu yang dimanfaatkan dengan baik." Jadi, jika seseorang mengucapkan "selamat dan berkah," itu bisa berarti mendoakan agar seseorang mendapatkan keselamatan dan keberkahan dalam hidupnya.
Dalam bahasa sosial selamat dan berkah itu dapat disamakan dengan sejahtera dan makmur. Pertanyaan sudah berapa kali kita ucapkan dan kita jawab salam saudara seagama?. Lebih dalam lagi apakah yang didoakan itu sudah makbul? Kalau tercapai berapa persen umat yang sudah sejahtera, makmur dan bebas dari kecemasan pada bahaya dan ancaman bencana? Musim hujan takut banjir, musim panas khawatir kekeringan, berjalan malam ada tawuran dan kebut-kebutan, anak-anak terancam narkoba, orang sopan dijalan raya juga bisa accident dst.
Masih jauh panggang dari api, jauh harapan dari kenyataan, walau negeri ini subur, dan melimpah hasil, namun justru rakyat masih miskin 1 dari 4 orang, pendapatan hanya cukup untuk makan bisa jadi 1 dari 3 orang, apakah semua ini apa tidak hubungan dengan dibiarkan ayat Allah, atau tidak diindahkan peringatan sang pemilik hidup. Artinya:"Dan sekiranya penduduk negeri beriman dan bertakwa, pasti Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi ternyata mereka mendustakan (ayat-ayat Kami), maka Kami siksa mereka sesuai dengan apa yang telah mereka kerjakan."(QS. Al-A'raf 7: Ayat 96).
Tafsir ayat ini dalam perspektif klasik dan modern memiliki beberapa perbedaan dalam pendekatan, tetapi tetap menekankan esensi yang sama tentang peringatan Allah terhadap kaum yang lalai dan durhaka. Tafsir klasik cenderung menitikberatkan pada kisah-kisah umat terdahulu dan hukuman Allah terhadap mereka. Beberapa ulama tafsir klasik seperti Ibnu Katsir, Ath-Thabari, dan Al-Qurtubi menjelaskan ayat ini sebagai berikut.
Ibnu Katsir. Ayat ini merupakan peringatan bagi umat Islam agar tidak mengulangi kesalahan umat terdahulu seperti kaum 'Ad, Tsamud, dan kaum Nabi Luth yang dihancurkan oleh azab Allah secara tiba-tiba karena kedurhakaan mereka.
Ath-Thabari. Menjelaskan bahwa ayat ini menunjukkan bahwa azab Allah bisa datang kapan saja tanpa diduga, terutama bagi orang-orang yang lalai dalam kesenangan dan merasa aman dari hukuman-Nya.
Al-Qurtubi: Mengaitkan ayat ini dengan pentingnya taqwa dan sikap selalu waspada terhadap murka Allah, terutama bagi pemimpin dan rakyat agar tidak lalai dalam menjalankan perintah-Nya.
Pendekatan tafsir modern lebih melihat konteks sosial, politik, dan psikologis dari ayat ini. Beberapa penafsiran modern menekankan hal berikut di antaranya Muhammad Abduh.
Ayat ini adalah peringatan bahwa kehancuran suatu bangsa tidak hanya datang dalam bentuk bencana alam, tetapi juga dalam bentuk kehancuran moral, sosial, dan politik. Bangsa yang korup, zalim, dan lalai dalam keadilan akan menghadapi kehancuran meski tampak makmur secara ekonomi.
Sayyid Qutb, dalam tafsir Fi Zhilalil Qur'an, Sayyid Qutb menafsirkan bahwa ayat ini berbicara tentang masyarakat yang merasa terlalu aman dengan kemajuan duniawi, sehingga melupakan prinsip keadilan dan kebaikan. Ketika moral hancur, kehancuran bisa datang secara tiba-tiba dalam bentuk krisis sosial, politik, atau ekonomi. Buya Hamka (Tafsir Al-Azhar). Menekankan bahwa ayat ini menjadi peringatan bagi bangsa dan pemimpin agar tidak merasa aman dari konsekuensi perbuatan buruk mereka. Kemunduran suatu bangsa sering kali terjadi karena kesombongan dan kelalaian dalam mengelola amanah rakyat.
Tafsir klasik lebih fokus pada hukuman Allah terhadap kaum terdahulu yang durhaka. Tafsir modern menghubungkan ayat ini dengan realitas sosial-politik, di mana suatu bangsa bisa hancur akibat korupsi, ketidakadilan, dan kesombongan. Pesan utama ayat ini adalah bahwa tidak ada jaminan keamanan bagi orang atau bangsa yang melupakan nilai-nilai kebaikan, keadilan, dan ketakwaan kepada Allah.
Dalam pesan al-Quran yang lebih dalam ada dua kata kuat yang mesti diperhatikan dari ayat itu bahwa penduduk yang bertaqwa menjadi prasyarat hadirnya keberkahan. Kekayaan dan kelebihan yang ada membawa kesejahteraan dan kemakmuran yang melimpah. Kata kedua kebohongan yang tak terkendali adalah pangkal siksaan dari karya dan usaha yang dilakukan anak-anak bangsa.
Mengapa taqwa diyakini asbab kesejahteraan dan kemakmuran bangsa? Jawabanya, taqwa merupakan prasyarat bagi kesejahteraan dan kemakmuran suatu bangsa karena dalam Islam, taqwa mencerminkan kesadaran dan kepatuhan manusia terhadap aturan Allah, yang mencakup aspek moral, sosial, dan ekonomi.
Beberapa alasan mengapa taqwa menjadi kunci kesejahteraan dan kemakmuran, keadilan sosial dan ekonomi. Orang yang bertakwa akan berlaku adil, jujur, dan amanah dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk dalam pemerintahan, bisnis, dan hubungan sosial. Dengan keadilan, tidak ada eksploitasi atau korupsi yang dapat merusak kesejahteraan masyarakat.
Keberkahan dalam Rezeki. Dalam Al-Qur'an (QS. Al-A'raf: 96), Allah berjanji akan melimpahkan berkah dari langit dan bumi bagi orang-orang yang beriman dan bertakwa.
Hal ini menunjukkan bahwa kepatuhan kepada Allah membawa keberkahan dalam kehidupan, baik dalam bentuk ekonomi, kesehatan, maupun keamanan. Kehidupan yang Harmonis dan Damai. Ketakwaan mendorong individu untuk hidup dalam harmoni, saling menghormati, dan menjauhi konflik serta kezaliman.
Dengan demikian, stabilitas sosial terjaga, yang menjadi fondasi utama bagi kemajuan suatu bangsa.
Pemimpin yang Amanah dan Bertanggung Jawab. Jika pemimpin dan rakyat memiliki ketakwaan, mereka akan menjalankan tugas dan tanggung jawabnya dengan penuh amanah. Pemimpin yang bertakwa akan mengutamakan kepentingan rakyat daripada kepentingan pribadi atau kelompok. Pembangunan Berbasis Etika dan Moral.
Bangsa yang bertakwa akan membangun peradaban dengan memperhatikan nilai-nilai moral dan etika, sehingga tidak hanya maju secara ekonomi, tetapi juga memiliki budaya yang beradab dan berkepribadian luhur. Dengan demikian, taqwa menjadi pondasi utama dalam menciptakan bangsa yang sejahtera dan makmur, baik secara material maupun spiritual.
Mengapa sejahtera dan makmur sulit dicapai bangsa Indonesia padahal taqwa menjadi persyaratan dalam semua jabatan? Jawabannya meskipun taqwa menjadi syarat formal dalam berbagai jabatan di Indonesia, kesejahteraan dan kemakmuran masih sulit dicapai karena beberapa faktor berikut.
1. Taqwa Bersifat Formalitas, Bukan Substansi. Banyak pejabat atau pemimpin yang hanya menjadikan taqwa sebagai syarat administratif, tetapi tidak benar-benar menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari. Taqwa seharusnya tercermin dalam kejujuran, keadilan, dan kepedulian terhadap rakyat, bukan sekadar ucapan atau simbol.
2. Korupsi dan Penyalahgunaan Kekuasaan. Korupsi masih menjadi masalah besar yang menghambat kesejahteraan. Dana yang seharusnya digunakan untuk pembangunan sering disalahgunakan. Pemimpin yang mengaku bertakwa terkadang tetap terlibat dalam praktik korupsi, nepotisme, dan kolusi.
3. Ketimpangan Sosial dan Ekonomi. Kesenjangan antara kaya dan miskin masih tinggi, sehingga kemakmuran belum merata. Banyak kebijakan ekonomi yang belum berpihak pada rakyat kecil dan hanya menguntungkan segelintir elit.
4. Budaya Materialisme dan Individualisme. Sebagian masyarakat lebih mengejar keuntungan pribadi daripada kepentingan bersama. Nilai-nilai kejujuran, gotong royong, dan kepedulian sosial mulai terkikis oleh gaya hidup konsumtif dan egois.
5. Kurangnya Implementasi Hukum yang Tegas. Hukum sering kali tidak ditegakkan dengan adil. Orang kecil mudah dihukum, tetapi pejabat atau pengusaha besar sering lolos dari jerat hukum. Jika hukum tidak ditegakkan dengan adil, maka ketidakadilan sosial akan terus terjadi.
6. Pendidikan Moral dan Akhlak yang Belum Optimal. Pendidikan di Indonesia masih lebih fokus pada aspek akademik dibandingkan pembentukan karakter dan moral. Jika pendidikan lebih menekankan nilai-nilai kejujuran, integritas, dan tanggung jawab, maka generasi yang akan datang bisa lebih baik dalam membangun bangsa.
Indonesia belum mencapai kesejahteraan dan kemakmuran secara merata karena nilai taqwa belum sepenuhnya dipraktikkan dalam kehidupan nyata. Jika taqwa benar-benar menjadi landasan dalam kepemimpinan dan masyarakat, maka korupsi akan berkurang, keadilan akan ditegakkan, dan kesejahteraan akan lebih mudah tercapai.
PEMIMPIN BERTAQWA PENGHALANG KEHANCURAN
Pemimpin yang bertaqwa bukan saja sebagai sumber kesejahteraan dan kemaknuran rakyat yang dipimpinnya, lebih dari itu pemimpin bertaqwa adalah penghalang datangnya kehancuran dan bencana. Artinya:"Dan jika Kami hendak membinasakan suatu negeri, maka Kami perintahkan kepada orang yang hidup mewah di negeri itu (agar menaati Allah), tetapi bila mereka melakukan kedurhakaan di dalam (negeri) itu, maka sepantasnya berlakulah terhadapnya perkataan (hukuman Kami), kemudian Kami binasakan sama sekali (negeri itu)."(QS. Al-Isra' 17: 16).
Tafsir ayat ini dalam mufassir klasik dan mufassir modern memiliki pendekatan yang berbeda, tetapi keduanya tetap menekankan bahwa kehancuran suatu kaum terjadi ketika pemimpin dan orang kaya berbuat fasik.
Para ulama tafsir klasik seperti Ibnu Katsir, Ath-Thabari, dan Al-Qurtubi menjelaskan ayat ini dengan fokus pada kehancuran umat terdahulu akibat kezaliman para pemimpin dan kaum elit. Ibnu Katsir. Allah mengutus para rasul untuk memperingatkan kaum yang makmur agar taat, tetapi mereka menolak, sehingga azab menjadi ketetapan Allah atas mereka. Mencontohkan kehancuran kaum 'Ad, Tsamud, Sodom (Nabi Luth), dan Fir’aun akibat kesombongan dan kefasikan para pemimpinnya.
Ath-Thabari, kata (Amarna) dalam ayat ini bisa diartikan sebagai "Kami perintahkan" atau "Kami biarkan mereka berkuasa," sehingga mereka tenggelam dalam dosa. Negeri yang makmur tetapi diisi oleh pemimpin dan elit yang fasik akan hancur karena kezaliman yang mereka sebarkan.
Al-Qurtubi. Menggarisbawahi bahwa masyarakat ikut bertanggung jawab jika membiarkan kezaliman para pemimpin. Ketika kaum yang diberi kemakmuran menyalahgunakan nikmat itu untuk maksiat dan ketidakadilan, kehancuran menjadi tak terhindarkan.
Dalam tafsir modern, ayat ini diinterpretasikan dengan melihat dinamika sosial, ekonomi, dan politik suatu bangsa.
Muhammad Abduh. Kerusakan suatu negeri terjadi ketika elit ekonomi dan politiknya menjadi rakus dan tidak peduli terhadap rakyat kecil. Penyebab utama kehancuran suatu bangsa bukan hanya bencana alam, tetapi juga kehancuran moral dan sosial. Sayyid Qutb (Fi Zhilalil Qur'an). Ayat ini menunjukkan bahwa kemakmuran bisa menjadi ujian. Ketika kaum elit hanya memikirkan kesenangan duniawi dan mengabaikan keadilan, Allah akan membiarkan mereka dalam kesesatan hingga kehancuran datang. Hal ini berlaku dalam sejarah, termasuk di dunia modern, di mana bangsa yang korup dan zalim akhirnya mengalami keruntuhan.
Buya Hamka (Tafsir Al-Azhar). Menekankan bahwa suatu bangsa akan hancur jika pemimpinnya tidak memiliki moral dan hanya mengejar kekayaan. Kehancuran tidak selalu berupa bencana fisik, tetapi juga bisa berupa kemerosotan akhlak, krisis ekonomi, dan kehilangan jati diri. Tafsir klasik lebih menyoroti kehancuran kaum terdahulu akibat kezaliman para pemimpin dan kaum kaya yang sombong dan durhaka. Tafsir modern melihat ayat ini sebagai hukum sosial yang berlaku sepanjang sejarah—suatu bangsa yang dikuasai oleh elit yang korup dan tidak peduli pada rakyatnya akan mengalami kehancuran, baik secara moral maupun struktural. Ayat ini menjadi peringatan bagi bangsa mana pun bahwa kesejahteraan harus disertai dengan keadilan dan moralitas, atau kehancuran akan menjadi konsekuensinya.
Apa relevansi kejahatan pemimpin dengan kemakmuran rakyat dalam tinjauan Islam? Jawabannya. Dalam Islam, kepemimpinan bukan sekadar jabatan, tetapi amanah besar yang akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah. Kejahatan seorang pemimpin, seperti korupsi, kezaliman, dan ketidakadilan, memiliki dampak langsung terhadap kemakmuran rakyat. Islam menegaskan bahwa pemimpin yang tidak adil dapat menyebabkan kehancuran bangsa dan penderitaan rakyat.
Beberapa relevansi antara kejahatan pemimpin dan kemakmuran rakyat dalam perspektif Islam.
1.Pemimpin Zalim Menghalangi Keberkahan dari Allah.
Dalam Al-Qur'an Surah Al-A'raf ayat 96 dinyatakan demikian adanya. Islam mengajarkan bahwa keberkahan dalam rezeki, keamanan, dan kesejahteraan adalah hasil dari kepemimpinan yang adil dan bertakwa. Jika pemimpin berbuat zalim, keberkahan bisa dicabut, sehingga rakyat mengalami kesulitan ekonomi, bencana sosial, dan ketidakstabilan politik.
2.Kejahatan Pemimpin Menyebabkan Kemiskinan.
Hadis Rasulullah ï·º: "Tidaklah seorang hamba yang Allah angkat menjadi pemimpin atas rakyat, lalu ia meninggal dalam keadaan menipu rakyatnya, kecuali Allah mengharamkan surga baginya." (HR. Muslim). Pemimpin yang curang dan menipu rakyatnya, misalnya dengan korupsi atau penyalahgunaan kekuasaan, akan menyebabkan penderitaan ekonomi. Kekayaan negara yang seharusnya digunakan untuk kesejahteraan malah masuk ke kantong pribadi atau kelompok tertentu, menyebabkan ketimpangan sosial dan kemiskinan.
3.Ketidakadilan Pemimpin Memicu Kerusuhan dan Ketidakstabilan. Dalam Surah Al-Isra' ayat 16 ketika pemimpin hanya menguntungkan kelompok kaya atau elite, sementara rakyat kecil menderita, maka ketidakadilan ini bisa memicu kehancuran bangsa. Sejarah menunjukkan bahwa banyak peradaban hancur bukan karena serangan dari luar, tetapi karena kezaliman dan korupsi dari dalam.
4.Pemimpin yang Baik Menciptakan Kemakmuran dan Kesejahteraan. Dalam Surah An-Nisa’ ayat 58, "Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanah kepada yang berhak menerimanya dan apabila kamu menetapkan hukum di antara manusia, hendaklah kamu menetapkannya dengan adil..." Pemimpin yang adil akan memastikan distribusi kekayaan yang merata, kesejahteraan sosial, dan kebijakan yang berpihak pada rakyat. Umar bin Khattab adalah contoh pemimpin yang adil, di mana pada masanya, kesejahteraan begitu merata hingga sulit menemukan orang miskin yang layak menerima zakat.
Kejahatan pemimpin seperti korupsi dan kezaliman menghambat keberkahan dan kemakmuran. Ketidakadilan dalam kepemimpinan menyebabkan kemiskinan, ketimpangan sosial, dan ketidakstabilan. Pemimpin yang adil dan bertakwa akan menciptakan kesejahteraan dan kemakmuran bagi rakyat. Dalam Islam, pemimpin adalah pelayan rakyat (khadimul ummah), bukan penguasa yang bebas menindas. Jika pemimpin baik, rakyat akan makmur. Jika pemimpin jahat, rakyat akan menderita.
Kesimpulan: Taqwa sebagai Kunci Keberkahan dan Kemakmuran. Dalam Islam, taqwa menjadi prasyarat utama untuk meraih keberkahan dan kemakmuran suatu bangsa. Keimanan dan ketakwaan penduduk, khususnya para pemimpinnya, menjadi faktor penentu apakah suatu negeri akan mendapatkan keberkahan dari langit dan bumi atau justru mengalami kehancuran akibat kezaliman dan kefasikan.
Al-Qur’an, melalui QS. Al-A’raf: 96, menegaskan bahwa berkah Allah akan diberikan kepada bangsa yang beriman dan bertakwa, sementara kebohongan dan kedurhakaan akan mendatangkan bencana. Tafsir klasik dan modern menunjukkan bahwa bangsa yang zalim dan korup akan mengalami kehancuran, baik melalui azab Allah secara langsung maupun dalam bentuk ketimpangan sosial, kehancuran moral, serta ketidakstabilan politik dan ekonomi.
Namun, realitas menunjukkan bahwa meskipun taqwa menjadi syarat formal dalam kepemimpinan, kesejahteraan masih sulit dicapai. Hal ini disebabkan oleh formalitas taqwa tanpa substansi, maraknya korupsi, ketidakadilan hukum, serta ketimpangan sosial dan ekonomi.
Kepemimpinan yang zalim menghalangi keberkahan, memperburuk kemiskinan, dan menciptakan ketidakstabilan sosial. Sebaliknya, pemimpin yang bertakwa dan adil akan memastikan kesejahteraan merata serta membangun bangsa yang makmur dan harmonis. Oleh karena itu, taqwa harus diimplementasi kan secara nyata dalam kepemimpinan dan kehidupan sosial, bukan sekadar simbol atau retorika. Ds.04032025.
*Materi Ceramah Tim Ramadhan 1 Jumat, 07 Maret 2025.