Hot Widget

Type Here to Get Search Results !

DENNY JA MENDOBRAK BATAS SASTRA, SEJARAH DAN ADVOKASI SOSIAL

Jakarta, 13 Februari 2025

“Denny JA adalah fenomena unik dalam sastra Indonesia. Ia bukan hanya seorang penyair, tetapi juga seorang pemikir sosial, peneliti opini publik, dan pelaku politik yang memahami bagaimana narasi membentuk realitas sosial.”

Demikian dikatakan Irsyad Mohammad, pemerhati sejarah dari UI dan penulis puisi. 

Komentar ini ia berikan setelah membaca 15 puisi esai terbaru karya Denny JA, yang terbit pada Februari 2025, berkisah mengenai 15 tokoh perjuangan, mulai dari Tan Malaka, H.O.S. Tjokroaminoto, Ki Hajar Dewantara, Bung Hatta, Bung Sjahrir, hingga Bung Karno.

Dalam dunia sastra, ujar irsyad, Denny JA dikenal sebagai pelopor puisi esai, sebuah genre yang memadukan puisi, esai, dan narasi berbasis data.

Di tingkat nasional, pengaruhnya dalam sastra tak bisa dilepaskan dari konteks sejarah dan sosial-politik yang ia angkat. 

Karya-karyanya menelusuri berbagai isu kemanusiaan, seperti diskriminasi, penindasan, ketidakadilan sosial, perang, dan pencarian makna hidup dalam dunia yang berubah begitu cepat.

Untuk memahami tempatnya dalam sastra Indonesia dan dunia, kita perlu menganalisis gaya, tema, dan dampak puisi esai yang ia usung, serta bagaimana ia dibandingkan dengan gerakan sastra global.

Denny JA membangun puisi esai dengan struktur khas. Setiap puisi esai diawali dengan sebuah kisah yang memiliki karakter kuat. Ia menggunakan pendekatan realisme sosial, mirip dengan cara John Steinbeck dalam novel-novel sosialnya atau Émile Zola dalam naturalisme Prancis.

Ia juga memasukkan elemen riset dan fakta-fakta sejarah, menjadikan puisinya memiliki bobot analitis, mirip dengan puisi dokumenter dalam sastra dunia. 

Ini mengingatkan pada pendekatan Bertolt Brecht, yang menciptakan teater epik berbasis kritik sosial dengan pendekatan nonfiksional.

Denny JA lebih memilih bahasa yang komunikatif, lugas, dan memiliki daya persuasi, berbeda dari penyair avant-garde yang bermain dengan metafora eksperimental. 

Hal ini, menurut Irsyad, membedakannya dari Chairil Anwar, yang penuh letupan ekspresi individual, atau Sapardi Djoko Damono, yang lirih dan minimalis.

Ia ingin puisinya berdampak sosial, bukan sekadar dinikmati dalam lingkaran akademik atau komunitas sastra. Karya-karyanya dekat dengan tradisi sastra rakyat (folk literature) yang bertujuan membentuk kesadaran massa. Oleh karena itu, bahasanya mudah dipahami khalayak luas. 

Ia juga melakukan alih wahana puisi esai ke teater, cerita bergambar, hingga film, agar puisi esai lebih mudah diakses oleh berbagai lapisan masyarakat.

“Isu kemanusiaan sangat terasa dalam serial 15 puisi esainya berjudul Mereka yang Mulai Teriak Merdeka.”

“Dalam puisi tentang R.A. Kartini, misalnya, ia menambahkan fiksi tentang surat yang tak sempat dikirim Kartini ketika ia diombang-ambingkan keputusan ayahnya untuk menjadi istri keempat seorang bupati, padahal ia menolak poligami. 

Atau kesedihan H.O.S. Tjokroaminoto ketika muridnya sendiri, Semaun, memecah Sarekat Islam menjadi SI Merah dan SI Putih.”

Denny JA banyak mengangkat isu kemanusiaan lintas sejarah. Seperti Émile Zola, yang menuliskan dampak revolusi industri terhadap kelas pekerja, Denny JA menjadikan sejarah sebagai latar refleksi atas problem sosial masa kini.

Denny JA mendobrak batas antara sastra, sejarah, dan advokasi sosial. Ia menggunakan sastra sebagai arsip sejarah yang hidup. 

Ia juga menyisipkan fakta sosial untuk membangun kesadaran publik. Dan ia menjadikan sastra sebagai medium advokasi yang berkelanjutan.

“Jika sastra dunia mengenal Émile Zola dalam naturalisme, Pablo Neruda dalam puisi epik, dan Svetlana Alexievich dalam dokumenter sastra, maka Denny JA bisa disebut sebagai pelopor puisi esai—sebuah genre yang mendobrak batas antara sastra, sejarah, dan advokasi sosial,” demikian dikatakan Irsyad Mohammad.

Dalam dunia sastra yang terus berkembang, puisi esai bukan sekadar fenomena sesaat. Dengan konsistensi dan inovasi yang dibawa oleh Denny JA, genre ini semakin mendapat tempat dalam sejarah sastra Indonesia.

Namun, tantangan tetap ada. Kritik atas genre puisi esai ini perlu juga disampaikan. Seperti semua gerakan sastra baru, puisi esai menghadapi perdebatan: Apakah ia lebih dekat ke sastra atau jurnalistik? 

Apakah penyatuan data dan narasi mengurangi nilai estetis puisi? Ataukah justru ini adalah bentuk sastra yang relevan dengan zaman yang semakin berbasis fakta dan realitas sosial?

Tak lepas dari sorotan, muncul pertanyaan tentang orisinalitas dan batasan genre ini. Kritikus sastra bisa mempertanyakan apakah puisi esai Denny JA, dengan penekanan pada data dan fakta, tidak justru mereduksi kekuatan metaforis dan ambiguitas yang esensial dalam puisi. 

Argumentasi ini membuka ruang diskusi tentang bagaimana sastra dapat berperan dalam wacana publik tanpa kehilangan identitasnya sebagai seni.

Terlepas dari perdebatan itu, satu hal yang jelas: Denny JA telah membuktikan bahwa sastra bisa lebih dari sekadar ekspresi pribadi. Sastra bisa menjadi alat advokasi, bisa mengubah cara kita memahami sejarah, dan bisa menjadi gerakan yang melampaui batas negara.

Dengan festival ASEAN yang sudah berjalan dan semakin luasnya komunitas puisi esai, kita mungkin sedang menyaksikan babak baru dalam sejarah sastra Indonesia. Babak di mana sastra bukan hanya untuk dinikmati, tetapi juga untuk diperdebatkan, diperjuangkan, dan dijadikan kekuatan sosial yang nyata.***

(CBI)

Posting Komentar

0 Komentar
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.

Hollywood Movies