Santri Madrasatul 'Ulum Lubuk Pandan foto bersama dengan Kasi Pesantren Kemenag Padang Pariaman Suhendrizal usai peringatan hari santri. (ist) |
Padang Pariaman, Sigi24.com--Santri dan dinamika kain sarung. Tentu ini perbedaan santri yang mondok di pesantren salafiyah dengan pesantren modern.
Santri di pesantren salafiyah lebih sering pakai sarung, sedangkan di pondok modern, sangat sulit mencari santrinya pakai sarung.
Wajar, sarung bisa berdinamika. Sarung, bikin banyak orang berdebat. Sedangkan santri dan tuankunya, dari sarung bisa melahirkan ribuan kisah dan cerita inspiratif.
Sebenarnya, santri salafiyah ini tidak diikat oleh aturan dengan terus menerus pakai sarung. Tetapi, ini khas dan pakaian ulama pemilik pondok yang terus menerus pakai sarung, sehingga santri pun meniru, lalu senang dan nyaman. Dah, langsung sulit untuk meninggalkan sarung.
Sebenarnya, beribadah lebih kokoh dan mantap pakai sarung, ketimbang tidak pakai sarung. Kenapa? Coba saja buktikan dan rasakan sendiri, lalu bandingkan.
Tentu sarung pakaian santri ini sering diganti. Mau shalat pakai sarung ini. Lalu, selesai shalat diganti dengan sarung lain. Pun ketika akan tidur juga ada sarung khususnya.
Sehingga, ibadah terpelihara dengan baik. Namun, tak menutup kemungkinan sebagian santri itu sarungnya itu ke itu.
Baik dalam shalat, beraktivitas, tidur dan keseharian, jarang atau sama sekali tidak mengganti sarungnya. Ada. Ya, Karena faktor punya sarung tak lebih dari satu.
Sampai sekarang masih ada? Mungkin saja masih ada. Sebab, sebagian besar santri yang mondok di pesantren salafiyah itu berasal dari keluarga kurang mampu.
Jangankan untuk beli banyak sarung, buat makan keseharian keluarga saja susah. Tetapi, semangat untuk menjadikan anaknya santri yang hebat, sangat tinggi.
Pakaian melambangkan hati dan jiwa seseorang. Begitu pula santri dengan pakaian sarungnya, mencerminkan kekokohan dan keteguhan pikirannya dalam menuntut ilmu.
Bayangkan, berlari pun mereka di halaman pesantren, tak bisa sarungnya lepas. Begitu kokoh dan kuat, karena memang dipelajari cara memakai sarung yang hebat dan kuat itu.
Bahkan, ada santri yang pakai sarung sambil melakukan olahraga sepak takraw. Tetap saja sarungnya kuat, tak lepas, dan mereka dengan tangkas menyambut dan mengembalikan bola takraw.
Sarung barangkali banyak melahirkan inspirasi. Para santri punya ide dan kreatifitas secara bebas, tetapi teratur dan diatur oleh kaji dan keilmuan yang mereka tuntut di pesantren.
Tak heran, ulama yang kokoh dengan sarungnya sering jadi rujukan oleh masyarakat. Tempat curhat soal susahnya kehidupan, tempat berbagi kisah politik kebangsaan yang sedang pasang surut.
Tuanku dan orang siak yang pakai sarung ini, nyaris tak pernah sepi dari tamu. Tamu pun harus menyiasati waktu, kapan waktunya tuanku itu bisa menerimanya.
Mau memulai ke sawah dan ladang, biasanya masyarakat minta hari yang baik ke tuanku. Anak dan anggota keluarga yang sedang sakit pun, tuanku tempat meminta bantuan pengobatannya.
Sebab, tak semua waktu yang disediakan oleh ulama itu untuk tamu. Ketika sedang mengajar, menghadapi santri dan murid, tak mau tuanku menerima tamu.
Sehabis Magrib sampai selesai Shalat Isya, itu banyak digunakan oleh tuanku dengan ibadah khusus. Dia tak bicara dengan siapa pun, kecuali lidahnya berzikir, membaca wiridan, dan tak bisa diganggu oleh tamu.
Paling tamu disuruh oleh santri menunggu sampai selesai tuanku mengaji. Sebab, majlis ilmu jauh lebih penting dari cerita dengan tamu yang belum jelas ujung pangkalnya.
Syekh Mato Aie, ulama terkenal dan punya banyak santri dulunya di Pakandangan. Dia terkenal juga sebagai tempat bersalang tenggang oleh masyarakat.
Hebatnya, segantang padi yang dipinjam masyarakat, sesumpit dikasihnya. Itu pun jangan pikirkan untuk dikembalikan.
Begitu pemurah ulama ini. Kemurahan Syekh Mato Aie ini terkenal di zaman paceklik yang melanda Pakandangan, Kabupaten Padang Pariaman di zaman ketika Indonesia belum sebuah negara dan bangsa.
Sawah tak jadi, ladang tidak menghasilkan. Masyarakat susah untuk makan. Kelaparan merajalela. Syekh Mato Aie berdiri dengan tegaknya.
Memberikan apa yang dia punya untuk masyarakat. Dia berikan dengan tidak mengharap kembalian. Ikhlas, tulus setulus jiwa dan keulamaannya. (ad/red)