Dua Khalifah Syekh Burhanuddin, Syahril Luthan Tuanku Kuniang dan Ali Bakri Tuanku Khalifah ketika bersilaturahmi, Sabtu kemarin. (ist) |
JAKARTA, Sigi24.com -- Syahril Luthan Tuanku Kuniang tampak masih seperti orang sehat biasa. Pendengarannya masih kuat, bicaranya sangat jelas, memorinya luar biasa.
Hanya saja kakinya yang sakit, sehingga berjalan harus dibantu oleh alat tempat bertahan. Ke lantai dua rumahnya masih sering turun naik Khalifah ke-15 Syekh Burhanuddin Ulakan ini.
Pagi hingga siang, Sabtu 19 Oktober 2024, kami Majlis Tuanku Nasional atas saran pembina Prof. Duski Samad Tuanku Mudo, dan tentunya difasilitasi Ali Bakri Tuanku Khalifah, pertemuan yang sudah jauh hari direncanakan dengan Buya Syahril Luthan Tuanku Kuniang ini terlaksana dengan membawa berkah tersendiri.
Setidak-tidaknya, Dr. H. Zalkhairi Tuanku Bagindo dan saya yang membawa nama kesatuan para tuanku ini, bisa memberikan penjelasan yang baik terhadap Khalifah Syekh Burhanuddin itu, di tengah dunia pergulatan tuanku dengan Syattariyah.
Kondisi usia yang sudah jalan 81 tahun, Syahril Luthan Tuanku Kuniang yang terkenal pernah jadi wakil rakyat di DPRD Kota Medan ini, banyak menghabiskan waktunya di rumah saja.
Pagi itu kami berlima. Terasa sudah panjang dan banyak pembicaraan, sebelum Prof. Duski Samad tiba. Tentu Ali Bakri Tuanku Khalifah sudah tak asing oleh ulama sepuh ini.
"Sudah jalan delapan tahun tak keluar rumah," kata dia di dampingi istrinya. Tapi, sisa sebagai tokoh hebat dan ternama dulunya, masih terlihat bersinar di wajah Syahril Luthan ini.
Alim dan malin kitab sepertinya diwarisi langsung dari ayahnya, Luthan Tuanku Mudo. Tumpukan kitab di ruangan dalam rumahnya, seperti teman keseharian dia.
Akhir tahun 1976, saat ayahnya yang juga Khalifah Syekh Burhanuddin wafat, kelanjutan kekhalifahan dilanjutkan oleh Syahril Luthan ini.
Khalifah itu tak pula serta merta disandang Syahril Luthan. Bersaksi pada orang banyak, para tokoh Ulakan dan santri di Tanjung Medan.
Beberapa hari setelah sang ayah mendahului dia. Saat Luthan Tuanku Mudo mulai sakit-sakitan, dia sudah berfatwa kalau yang akan melanjutkan Khalifah adalah anaknya, Syahril Luthan yang disebutnya "Buyung".
"Setiap orang Tanjung Medan ke Medan, ayah ini selalu berpesan. Bilang ke Buyung kalau ambo lai sehat-sehat saja," cerita Syahril Luthan berkisah memorinya yang telah lama.
Hanya dengan cara itulah orang dulu berpesan. Berkomunikasi dengan anak yang jauh di rantau. Telpon belum ada. Kalau pun ada korespondensi, itu telegram, saat situasi gawat benar biasanya.
Telegram tentu lebih cepat tibanya, ketimbang pesan lewat orang ini. Nah saat ayahnya, sang ulama besar pewaris Syekh Burhanuddin ini wafat, Syahril Luthan pulang dari Medan.
Naik pesawat. Turun di Tabing. Dari Padang, naik taxi ke Tanjung Medan. Sang ayah baru saja selesai dimandikan.
"Hujan lebat. Ayah sudah harus dimakamkan, tapi terhalang oleh uang tebusan. Syahril Luthan memutuskan, kalau dia membayar tebusan itu," kisah dia.
Tebusan tak pula sedikit. 20 emas nilainya, baru bisa dikuburkan di komplek makam Syekh Burhanuddin. Padahal dia Khalifah, warih bajawek pusako batarimo, tapi masih di tuntut membayar.
Syahril Luthan tegak pada kebenaran. Uang tebusan senilai 20 emas, tak jadi dibayarnya. Dia beralasan, uang tebusan itu tak punya dasar dan aturan yang jelas.
Sejak 2021, kekhalifahan Syahril Luthan dijalankan oleh saudaranya, Amsaidi Luthan Tuanku Khalifah.
Perjalanan dakwah Syahril Luthan dari rantau ke kampung, sepanjang kekhalifahannya cukup memberikan warna tersendiri di kalangan jemaah Syattariyah.
Tidak hanya di Tanjung Medan, bahkan Syahril Luthan sering melakukan safari dakwah ke kantong-kantong Syattariyah di Minangkabau.
Tiga Khalifah Syekh Burhanuddin
Menurut Syahril Luthan, terjadinya tiga khalifah di Ulakan itu, dimulai saat Khalifah Syekh Abdul Sani.
Kemudian oleh masyarakat kaum adat ditetapkan, bahwa di Tanjung Medan disebut "Khalifah Syarak", di Surau Pondok "Khalifah Pakaian" dan di Sikabu "Khalifah Tariqat".
Pewarta: damanhuri